Profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Disebutnya advokat sebagai profesi yang mulia karena advokat mengabdikan dirinya serta kewajibannya kepada kepentingan masyarakat dan bukan semata-mata karena kepentingannya sendiri. Namun harus diakui, bahwa kenyataannya saat ini advokat yang merupakan officium nobile sepertinya hanya tinggal masa lalu, terlebih setelah terbitnya SKMA Nomor 73/KMA/ HK.01/IX/ 2015 yang secara jelas seolah mengubah single bar system sebagaimana diamanatkan UU Advokat, menjadi multi bar system. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukan Kedudukan hukum organisasi advokat pasca terbitnya SKMA Nomor 73/KMA/ HK.01/IX/2015 menunjukkan bahwa secara de facto organisasi advokat direpresentasikan dalam model multi bar oleh PERADI dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) serta banyaknya organisasi advokat baru, sedangkan secara de jure merepresentasikan model single bar oleh Perhimpunan Organisasi Advokat (dalam hal ini oleh PERADI). Terbitnya SKMA Nomor 73/KMA/ HK.01/IX/2015 menimbulkan pro dan kontra serta memunculkan dampak positif dan negatif, di satu sisi tersebar dan meratanya profesi advokat di seluruh wilayah Indonesia sehingga kebutuhan masyarakat terhadap jasa advokat dalam mencari keadilan akan bisa didapat dengan mudah. Namun di sisi lain, justru masyarakat menjadi lebih tidak terlindungi karena seolah-olah Advokat tidak lagi terikat pada UU Advokat dan Kode Etik yang telah memberikan standarisasi tersendiri bagi Advokat.
CITATION STYLE
Syarief, V. G. (2023). KEDUDUKAN ORGANISASI ADVOKAT DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN. Jurnal Ilmiah Publika, 11(1), 42. https://doi.org/10.33603/publika.v11i1.8200
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.