Kegiatan menafsir al-Quran merupkana kegiatan yang telah lama dipraktekkan sejak kehidupan Nabi saw bersama para sahabatnya. Nabi saw menjelaskan ayat demi ayat dengan sangat jelas kepada para sahabatnya, dengan itulah maka Nabi saw merupakan mufassir atau mubayin pertama al-Quran. Setelah Nabi saw wafat, kegiatan mengkaji dan menafsir al-Quran semakin kuat semakin semarak, sampai pada masa abad ke-2 H kegiatan menafsir telah dikodifikasi dan telah menjadi disiplin (fun) ilmu tersendiri. Tidak menjadi hal baru jika kegiatan mulia tersebut mengilhami ulama selanjutnya untuk terus mengembangkan dan mengaviliasi subtansi penafsiran yang relevan dengan kondisi dan situasi. Namun, dari sekian rangkaian dan mata rantai penafsiran tersebut dalam prosesnya banyak dijumpai subtansi penafsiran yang melenceng dan tidak sesuai dengan kehendak teks. Salah satu faktornya adalah sublimasi alam pikir (ra’y) mufasir yang notabene liar dalam upaya mengungkap dimensi teks, sehingga teks tersebut mengejewantah menjadi pemahaman teks yang buram (dakhil). Berangkat dari hal itu, maka tulisan ini akan mengurai indikasi-indikasi penyelundupan pemahaman teks secara akal (dakhil al-ra’y) yang telah berhasil melumuri penafsiran. Tulisan ini akan menyajikan diagnosa akurat terkait dakhi>l al-ra’y sebagai upaya menyelamatkan otentisitas pemahaman teks dari virus-virus tersebut.
CITATION STYLE
-, S. (2018). Al-DAKHIL. PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu Dan Hikmah, 3(1), 152–177. https://doi.org/10.51498/putih.v3i1.30
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.