Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan pendapat pasca hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang merupakan hasil uji konstitusional Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Melihat banyaknya praktik eigenrichting terhadap eksekusi jaminan fidusia, maka menjadi urgensi untuk memberikan ruang bagi pencari keadilan dalam mempertahankan haknya dihadapan hukum. Artikel ini menggunakan pendekatan conceptual dan statute approach. Hipotesis di awal pada artikel ini berpendapat bahwa: Pertama, adanya keinginan Hakim Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 bertujuan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum antara kreditur dan debitur guna memprioritaskan keadilan dan kepastian hukum. Kedua , putusan a quo merupakan bentuk keinginan Hakim Konstitusi untuk mereduksi praktik eigenrichting dalam eksekusi objek jaminan fidusia. Dengan demikian, artikel ini menghadirkan kebaharuan konsep berpikir yang mampu menganalisis sebuah putusan tidak hanya secara tekstual namun tidak terbatas pada kandungan kaidah-kaidah hukum didalamnya. Artikel memberikan kesimpulan bahwa putusan a quo bertujuan untuk memberikan ruang keadilan bagi kreditur dan debitur dalam penyelesaian sengketa serta menghindari praktik eigenrichting. Analisis artikel ini pun berorientasi pada keinginan untuk mencapai tujuan hukum sebagai saran untuk menertibkan perilaku masyarakat.
CITATION STYLE
Manurung, S. P., & Wilopo, K. C. N. (2021). MEREDUKSI PRAKTIK EIGENRICHTING DAN MENYEIMBANGKAN KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 18/PUU-XVII/2019. Jurnal Ius Constituendum, 6(2), 284. https://doi.org/10.26623/jic.v6i2.3197
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.