Perubahan jadwal Pilkada yang dilakukan serentak pasca pengaturan dalam UU Nomor 8/2015 dan UU 10/2016 menimbulkan berbagai implikasi. Problem Pilkada serentak jika ditemu-kenali dapat dibagi dalam tiga tahapan pokok yaitu, input, proses dan output. Pada tahapan input, rekrutmen pasangan kandidat kepala daerah berhadapan dengan persoalan ketatnya pengaturan sistem terhadap minimal dua pasangan calon. Pada Pilkada 2020 menyisakan 25 paslon tunggal berhadapan dengan kotak kosong. Persoalan tersebut diluar mekanisme teknis pendaftaran yang dalam beberapa kasus menciptakan ketegangan berskala lokal. Pada tahapan proses, potensi masalah terdeteksi bervariasi mulai dari mobilisasi hingga upaya masif bagi perolehan suara agar tercipta kesenjangan lebar sebagai dasar pijakan yuridis bagi proses pencarian keadilan oleh pasangan yang merasa diakali atau bahkan kalah telak. Sedangkan tahapan output beresiko pada rendahnya akseptabilitas pemilih terhadap pasangan sehingga berpotensi mendegradasi legitimasi pasangan terpilih. Dengan argumentasi bahwa Pilkada serentak dibangun diatas prinsip esiensi dan efektivitas, tampaknya merenggut separuh kualitas demokrasi juga memperlihatkan kecenderungan paradoks dengan prinsip efisiensi dan efektivitas itu sendiri. Gejala ini kiranya membutuhkan sejumlah strategi sebagai kanalisasi terhadap berbagai persoalan yang muncul di separuh waktu pertandingan, sehingga sungguhpun efisiensi dan efektivitas Pilkada tak begitu menampakkan hasil, namun kualitas demokrasi tak seluruhnya hilang percuma. Tulisan ini akan mengidentifikasi sejumlah problem utama dalam Pilkada serentak sekaligus meraba implikasi umum terhadap nasib demokrasi di level grass root seraya mengendalikan pengeluaran semaksimal mungkin bagi tujuan yang lebih utama.
CITATION STYLE
Rumbekwan, Sohilait, M., Christian. (2022). IDENTIFIKASI PROBLEM PILKADA SERENTAK DAN KANALISASINYA. Jurnal Keadilan Pemilu, 1(3), 19–28. https://doi.org/10.55108/jkp.v1i3.159
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.