This study investigates the formation of ecological devotion within pesantren, led by kyai in the application of fiqh al-bī’ah. It delineates the developmental stages into three components aligned with Berger and Luckmann’s social construction theory: externalisation, objectification, and internalisation. Using qualitative methods and field studies, data were gathered through semi-structured interviews with three religious leaders from two eco-pesantren in Banten Province. Externalization is exemplified by the kyai’s teachings on humanity as caliphs, advocating against harming the Earth, emphasizing cleanliness as integral to faith, and prioritising ṭahhārah in fiqh. Objectification is seen in the prohibition of deforestation and embedded environmental preservation duties within the schools’ hidden curriculum. Internalisation reflects practical implementation aligned with established objectives, observed through growing pro-environmental consciousness, attitudes, and behaviours among school members, evolving progressively. This construction of ecological devotion resulted in tangible contributions to groundwater conservation and flood risk mitigation by the two schools. The findings highlight Islamic boarding schools’ potential to elevate environmental standards via fiqh al-bī’ah-rooted ecological wisdom. Collaborative efforts involving stakeholders, such as financial support and training programmes, are vital to enhancing the environmental management capacity, particularly in establishing impactful water management systems within these institutions. Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi proses konstruksi realitas sosial kesalehan ekologis di lingkungan pesantren oleh para kyai sebagai wujud penerapan fiqh al-bī’ah. Peneliti memilah proses konstruksi menjadi tiga komponen sesuai dengan teori konstruksi sosial realitas dari Berger dan Luckmann, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Penelitian ini didesain menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi lapangan. Data penelitian didapatkan dengan wawancara semi terstruktur dengan tiga tokoh agama di dua eko-pesantren di Provinsi Banten. Eksternalisasi diketahui muncul dalam bentuk penafsiran para kyai terhadap peran manusia sebagai khalīfah dan larangan berbuat kerusakan di muka Bumi, adagium bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman, dan penempatan ṭahhārah sebagai bagian awal untuk memasuki fiqh. Adapun bentuk objektivikasi adalah larangan menebang pohon dan kewajiban-kewajiban yang terarah pada upaya memelihara lingkungan hidup di pesantren yang diprogram sebagai kurikulum tersembunyi di pesantren. Internalisasi yang terjadi merupakan praktik nyata di lapangan yang sesuai dengan objektivikasi yang telah dibuat dan dijadwalkan. Internalisasi ditunjukkan dengan kesadaran, sikap, dan perilaku yang pro-lingkungan pada hampir semua orang di dalam pesantren dan berlangsung secara progresif seiring waktu. Dampak yang lebih luas dari proses konstruksi kesalehan ekologis ini adalah kontribusi nyata kedua pesantren dalam konservasi air tanah maupun mitigasi risiko banjir. Temuan penelitian ini mengindikasikan bahwa pesantren dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup lewat konstruksi kearifan ekologis berbasis fiqh al-bī’ah. Diperlukan peran pihak terkait untuk dapat memberikan bantuan dana maupun pelatihan guna memaksimalkan kemampuan eko-pesantren dalam mengelola lingkungan, khususnya dalam upaya membangun sistem pengelolaan air yang berdampak luas bagi masyarakat sekitar.
CITATION STYLE
Putri, L. D., Nugroho, C., Malik, A., & Nastain, M. (2023). Developing ecological piety in pesantren: the Kyai’s cognition and the practice of living fiqh al-bī’ah in Banten. Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam Dan Kemanusiaan, 23(2), 235–259. https://doi.org/10.18326/ijtihad.v23i2.235-259
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.