Dua lembaga negara sama-sama berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) “berwenang” berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusannya No. 138/PUU-VII/2009 menyatakan “berwenang pula.” Dengan adanya dua lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang sama tersebut maka (dapat) terjadi fenomena. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga bentuk fenomena Two in One Pengujian Perppu yang (dapat) terjadi. Pertama, “judicial examination for constitutionality to Perppu pre-legislative review.” Kedua, “judicial examination for constitutionality to Perppu post-legislative review.” Ketiga, jika terjadi judicial review Perppu di MK baik dalam keadaan bentuk fenomena pertama atau fenomena kedua tetapi dalam waktu yang berlarut-larut DPR tidak memberikan keputusan tidak menyetujui atau menyetujui Perppu menjadi undang-undang. Prosedur hukum untuk bentuk fenomena kedua tidak jauh berbeda dengan prosedur hukum fenomena bentuk pertama; prosedur hukum serta yang dijadikan dasar pertimbangannya mempunyai kesamaan. Sedangkan prosedur hukum untuk bentuk fenomena ketiga perlu pula dikaji lebih lanjut secara mendalam untuk mencapai titik temu oleh dua pihak (DPR dan MK) yang berwenang menguji Perppu. Bentuk fenomena dan prosedur hukum pertama dan kedua bisa dikatakan sebagai jenis kewenangan yang bersifat pasif. Sedangkan bentuk fenomena dan prosedur hukum yang ketiga bisa dikatakan sebagai jenis kewenangan yang bersifat aktif.Two state institutions are equally authorized to test the Government Regulation in Lieu of Laws (Perppu); The House of Representatives (DPR) is “authorized” based on Article 22 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, while the Constitutional Court (MK) based on its verdict No. 138/PUU-VII/2009 declared “authorized as well.” With the existence of two state institutions that have the same authority, then the phenomena (can) happen. This research is a legal research using normative approach. The results of the study showed that there are three forms of phenomena of Two in One Perppu review which (can) happened. First, “judicial examination for the constitutionality to Perppu pre-legislative review.” Second, “judicial examination for the constitutionality to Perppu post-legislative review.” Third, in the case of Perppu judicial review in the Constitutional Court, either in the form of the first phenomenon or the second phenomenon, yet in the long period the DPR does not give a decision whether to approve the Perppu or not into the law. The legal procedure for the form of the second phenomenon is not much different from the legal procedure of the first form phenomenon; legal procedures and the basis of their considerations are merely the same. While the legal procedure for the third form of the phenomenon should also be studied further in depth to reach the final point by two parties (DPR and MK) authorized to review the Perppu. The first and the second forms of the phenomena and legal procedures can be regarded as a kind of passive authority. While the third form of the phenomena and legal procedures can be regarded as a type of active authority.
CITATION STYLE
Muda, I. (2018). Fenomena Two in One Pengujian Perppu. Jurnal Konstitusi, 15(2), 257. https://doi.org/10.31078/jk1522
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.