ERA BARU DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA: STUDI KASUS KALIMANTAN

  • Sugiyanto, S.S. B
N/ACitations
Citations of this article
22Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Perubahan nomenklatur terutama pada instansi penelitian arkeologi di Indonesia dan instansi pengelolaan cagar budaya berpengaruh pada pengelolaan cagar budayanya. Dengan bergabungnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi ke dalam struktur organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional, maka nomenklatur lembaga penelitian arkeologi pun berubah. Nomenklatur baru tersebut adalah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra yang mempunyai tujuh pusat riset, yaitu tiga menyelenggarakan penelitian arkeologi, dan empat melaksanakan penelitian bahasa, sastra, dan manuskrip. Sementara perubahan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi adalah penggabungan dua unit pelaksana teknis, yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Pelestarian Nilai Budaya, menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan. Perubahan di atas berpengaruh pada pengelolaan cagar budaya di Indonesia. Bagaimana pengaruhnya dan bagaimana kemitraan pengelolaan yang akan datang merupakan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mendorong percepatan pemahaman kemitraan pengelolaan cagar budaya. Penelitian ini diakukan secara induktif-deskriptif melalui studi pustaka dengan fokus kasus-kasus di Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan cagar budaya di Kalimantan secara umum memang belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, disimpulkan bahwa harus dibangun skema kemitraan pengelolaan antarpemangku kepentingan, dari tingkat perencanaan sampai dengan pemanfataannya. Skema kemitraan ini harus melibatkan dinas pendidikan dan kebudayaan serta dinas kebudayaan dan pariwisata setempat, kemudian membangun sinergi dan kolaborasi yang baik dengan pihak terkait seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga sosial masyarakat budaya, dinas pertambangan, dinas pekerjaan umum, akademisi, dan masyarakat. Kerja sama dan koordinasi tersebut dimulai dengan menyamakan visi dan misi dalam memelihara dan melestarikan cagar budaya, sehingga diharapkan akan terbentuk satu rencana aksi pengelolaan cagar budaya yang terpadu di bawah arahan walikota atau bupati atau gubernur. Changes in nomenclature, especially at archaeological research institutions in Indonesia and cultural heritage management agencies, affect the management of their cultural heritage. The merger of the Pusat Penelitian Arkeologi Nasional and its ten institutes of archaeology into the organizational structure of Badan Riset dan Inovasi Nasional has also affected the change of their nomenclature. Their present nomenclature is the Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, which has seven research centres, i.e. three manage archaeological research, and four operate research regarding language, literature, and manuscripts. Meanwhile, a change of organizational structure also occurred within the Direktorat Jenderal Kebudayaan of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology, which was affected by the merger of two technical units, i.e. Balai Pelestarian Cagar Budaya and Balai Pelestarian Nilai Budaya and become Balai Pelestarian Kebudayaan. These changes affect the management of cultural heritage in Indonesia. How it affects and how the future management partnership will be is the question discussed here. The research aims to accelerate the understanding of cultural heritage management partnerships. This research was conducted inductively and descriptively through literature studies with a focus on cases in Kalimantan. The results of the study show that the cultural heritage in Kalimantan in general has not been well managed. Thus, it can be inferred that a management partnership scheme between stakeholders had to be built, from the planning level to its utilization. Such partnership scheme must involve the education and culture office as well as the local culture and tourism office, then build good synergy and collaboration with related parties such as the police, prosecutors, cultural community social institutions, mining agency, public works agency, academia, and the community. This cooperation and coordination must be commenced by aligning the vision and mission in maintaining and preserving cultural heritage; therefore, an integrated cultural heritage management action plan can be formed under the direction of the mayors or regent authorities or governors.

Cite

CITATION STYLE

APA

Sugiyanto, S.S., B. (2022). ERA BARU DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA: STUDI KASUS KALIMANTAN. Naditira Widya, 16(2), 165–176. https://doi.org/10.24832/nw.v16i2.508

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free