Kekhasan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara menjadi poin menarik tatkala kemunculan paham sekularisme, liberalisme utamanya menjadi pertarungan identitas di tubuh pesantren itu sendiri. Posisi dan andil Barat yang mempengaruhi sisi-sisi sosiologis lewat arus utama media sosial kemudian menabuhkan genderang kian kencang. Secara moralitas, antara pesantren dan Barat memiliki kutub yang berbeda. Kehadiran arus media sosial yang dibentuk Barat pada gilirannya memunculkan hegemoni di dalam lingkungan pesantren. Pro dan kontra memang wajar, namun yang kemudian menjadi pertanyaan, “Bagaimana peran pesantren untuk tidak latah dan tetap menjaga gerbang serta pondasi dari kultur dan nilai-nilai khasnya?”. Di sisi lain, problem pesantren kian kompleks terutama jika ditarik pada posisi politik. Sikap oposisi pesantren dipertaruhkan dan bahkan pada cerita selanjutnya politik ditengarai menjadi bumerang yang bisa menggerus kemurnian ‘kalimah sawa’ dari visi-misi pesantren. Selanjutnya, bahwa pada tahap masyarakat yang mudah terpancing arus menganggap pesantren sebagai benih dan sarang terorisme dan radikalisme. Endang Turmudi menambahi juga isu terjadinya perselingkuhan antara Kiai dan kekuasaan. Maka dari hal ini, diperlukan pengembalian dunia pesantren pada kultur, tradisi dan pemikirannya. Namun, tetap membuka diri untuk beradaptasi dan berkolaborasi dengan teknologi, globalisasi sehingga pesantren bisa tumbuh bersama perkembangan zaman dengan catatan filterisasi dan relevansi dengan budaya Islam tetap dipegang. Naturalisasi budaya pesantren ini bisa dipondasikan dengan cara menggugah gairah dan semangat (ijtihad) dalam mengkaji dan melestarikan ilmu pengetahuan serta tafsir al-Quran.
CITATION STYLE
Jannah, A. U. (2019). BOOK REVIEW: PESANTREN MENGHADAPI ARUS UTAMA MEDIA DI ERA 4.0. Islamic Review : Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman, 8(1), 131–134. https://doi.org/10.35878/islamicreview.v8i1.152
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.