ABSTRAK Tindak pidana korupsi pada masa pandemi covid-19 terus terjadi. Salah satu indikator masih maraknya korupsi adalah penurunan skor indeks persepsi korupsi Indonesia. Pada tahun 2020 skor indeks persepsi korupsi Indonesia adalah 40. Padahal, pada tahun 2019 skor indeks persepsi korupsi Indonesia adalah 37. Salah satu penanganan kasus korupsi yang menarik perhatian publik di masa pandemi adalah suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung dengan terdakwa seorang jaksa berinisial P. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Putusan Nomor 10/PID.TPK/2021/ PT.DKI telah memberikan hukuman kepada terdakwa tetapi hukuman tersebut masih ringan. Terdakwa sebenarnya bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mencoba untuk menganalisis bagaimana jika pemberatan pidana diterapkan dalam Putusan Nomor 10/PID.TPK/2021/PT.DKI. Penelitian ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder, dan analisis deskriptif kualitatif. Konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis adalah pemberatan pidana, kejahatan jabatan, concursus realis, hukum progresif, dakwaan, dan asas dominus litis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman terdakwa bisa diperberat sesuai dengan Pasal 52 dan 65 KUHP. Penuntut umum seharusnya menerapkan pemberatan pidana sesuai dengan Pasal 52 dan 65 KUHP pada kasus ini. Terdakwa bisa dituntut maksimum dengan pidana penjara selama 20 tahun atau seumur hidup. Dengan demikian, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan batas maksimum tuntutan tersebut. Salah satu saran dari penelitian ini adalah diperlukannya pedoman pemidanaan sebagai panduan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Kata kunci: pemberatan pidana; korupsi; asas dominus litis. ABSTRACT Corruption crimes are continuously committed during the covid-19 pandemic. It causes Indonesia’s corruption perception index to decline. In 2020 Indonesia’s corruption perception index score was 40. Meanwhile, in 2019 Indonesia’s corruption perception index score was 37. One of the corruption cases that caught public attention during the pandemic was the bribery in obtaining a fatwa (advice) from the Supreme Court. The defendant was a prosecutor with the initial P. The DKI Jakarta High Court through Decision Number 10/PID.TPK/2021/PT.DKI has given the defendant a sentence, but it is still light. The defendant could have received a severe sentence. The background underlies this research to analyze what-if aggravation of punishment is implemented in Decision Number 10/PID.TPK/2021/PT.DKI. This study applied normative legal research methods using secondary data and qualitative descriptive analysis. The concepts used as a reference in analyzing are aggravation of punishment, malfeasance, concursus realis, progressive law, indictment, and the principle of dominus litis. The result of the research discloses that the defendant’s sentence can be made heavier in accordance with Articles 52 and 65 of the Criminal Code. The public prosecutor should have imposed criminal sanction in accordance with Articles 52 and 65 of the Criminal Code in this case. The defendant can be charged with a maximum of 20 years in prison or life imprisonment. Thus, the judges can impose a penalty with the maximum limit of the charge. This study suggests the need for a sentencing guideline as a reference for judges in imposing a sentence. Keywords: aggravation of punishment; corruption; dominus litis principle.
CITATION STYLE
Anjari, W. (2023). PENERAPAN PEMBERATAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Jurnal Yudisial, 15(2), 263. https://doi.org/10.29123/jy.v15i2.507
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.