Film tidak hanya mewujudkan image (citraan) tetapi juga imaji (baca: imajinasi) tentang realitas masyarakatnya. Tulisan ini melihat film sebagai teks yang strategis dalam pergolakan dan kegalauan masyarakat pada masa kolonial, lalu pada era kebangkitan nasional hingga awal kemerdekaan. Film-film seperti Terang Boelan, Dasima, hingga Rentjong Atjeh yang dibuat sebelum kemerdekaan, telah menunjukkan antitesis kolonialisme. Film-film tersebut memang muncul ketika negeri ini masih dijajah, namun formula, bentuk, dan penyajiannya dapat dilihat telah berdikari –meski tidak sepenuhnya—dengan memasukkan unsur hibriditas yang disukai masyarakat. Daya tarik dari film pada masa kebangkitan nasional adalah masuknya selera pribumi dalam film yang pada saat itu ditujukan kepada pangsa pasar Eropa. Musik, pakaian, gaya hidup, dan respons dari film ini bukanlah suatu entitas tunggal. Seperti halnya masyarakat yang dilanda “kegalauan identitas” sebelum negeri ini benar-benar merdeka. Film pada masa tersebut menjadi subordinat dari selera masyarakat yang sebelumnya terikat struktur sosial karena pengaruh kolonialisme. Sementara itu, film yang muncul pada masa awal kemerdekaan seperti Harimau Tjampa, Lagi-Lagi Krisis, dan Tamu Agung menunjukkan ekspresi nasionalisme yang besar dengan tetap memasukkan unsur tradisi. Meski telah merdeka, film pada awal masa kemerdekaan ini menemui tantangan lain, yakni dominasi negara di satu sisi dan sikap masyarakat kelas bawah di sisi lain. Maka corak khas dari film-film pada masa itu pun terlihat menggambarkan kegalauan masyarakat yang baru saja merdeka dan sedang mencari identitas.The One Who’s Mixed up”: Reflections of Film from the Colonial Era to the Beginning of Independence. Film was not only creates images but also imagination by pictures of social reality. This article sees film as strategic text in society upheaval and mixed up during colonial era, continued to (kebangkitan nasional) national resurgence era until early independence. Films as Terang Boelan, Dasima, to Rentjong Atjeh which made before independence have been showing colonialism antitheses. This country was on colonized when that film shows, but the formula, form and presentation could be seen independent –tough not entirely— with popular hybrid elements input. Uniquely, films on national resurgence era attracts by local native taste which presented to European viewers. Music, clothes, lifestyle and response of those films was not a single entity, as though the society who has mixed up identity before getting independency. Films on that era are the subordinate of society taste which is before tied to colonial social structure. Meanwhile, early independence films such as Harimau Tjampa, Lagi-Lagi Krisis and Tamu Agung shows strong national expression by still using traditional element. Even after independence, early independence films met another challenge which is state domination and in another hand, the attitude of lower class. So the characteristic of films from colonial to the beginning of independence was representing societies mixed-up who were looking for identity.
CITATION STYLE
Anggraini, S. N. (2016). “AKU YANG GALAU”: REFLEKSI FILM MASA KOLONIAL HINGGA AWAL KEMERDEKAAN. REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, Dan Animasi, 11(2), 79. https://doi.org/10.24821/rekam.v11i2.1295
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.