Article 7 of Law No. 1 of 1974 established that the minimum age of marriage for men is 19 years old and women 16 years old. The regulation was amended through Law No. 16 of 2019 which sets the minimum threshold for marriage for men and women to be married is a minimum age of 19 years. Changes to the minimum marital boundaries are of course intended that the age of marriage becomes an inward part with the goal of marriage, animating the basis of marriage and it is hoped that in the future it will be able to minimize conflicts in the household. Unfortunately, the marriage age limit still causes dynamics. By using library research, there are three results of this study. First, Islamic law does not specify a minimum age for a bride and groom who will carry out the marriage. The foqoha’ differ in opinion in determining the age of maturity of a person in carrying out marriage but has the same goal, namely to establish goals rather than Islamic law. Second, psychologists think that the age of adulthood (adolescent) is right in carrying out marriage, that is someone who is 21 years old and so on. Third, the consequences of premature marriages will arise legal problems, biological problems, psychological problems, social problems, and problems of deviant sexual behavior. Pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menetapkan bahwa usia minimal pernikahan bagi pria adalah umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun. Aturan tersebut dirubah melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2019 yang menetapkan batas minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan yang akan menikah adalah minimal di usia 19 tahun. Perubahan batasan minimal perkawinan ini tentu dimaksudkan bahwa usia perkawinan menjadi bagian yang inhern dengan tujuan perkawinan, menjiwai dasar perkawinan dan diharapkan kedepanya nanti dapat meminimalisir konflik dalam rumah tangga. Sayangnya, batasan usia perkawinan tersebut masih menimbulkan dinamika. Dengan menggunakan penelitian pustaka, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama, hukum Islam tidak menetapkan minimal usia bagi calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan. Para foqoha’ berbeda pendapat dalam menentukan usia kedewasaan seseorang dalam melaksanakan sebuah perkawinan, tetapi memiliki tujuan sama, yaitu menegakan tujuan dari pada Hukum Islam. Kedua, para ahli psikologi berpendapat bahwa usia dewasa (edolesen) tepat dalam melaksanakan perkawinan, yaitu seseorang yang berumur 21 tahun dan seterusnya. Ketiga, akibat daripada perkawinan yang prematur akan timbul masalah hukum, masalah biologis, masalah psikologis, masalah sosial, dan masalah prilaku seksual menyimpang.
CITATION STYLE
Yusuf, Y. (2020). DINAMIKA BATASAN USIA PERKAWINAN DI INDONESIA: Kajian Psikologi Dan Hukum Islam. JIL: Journal of Islamic Law, 1(2), 200–217. https://doi.org/10.24260/jil.v1i2.59
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.