Pada masa sahabat sebelum terbentuknya rasm utmany banyak sekali muncul qira’ah mutawatirah dengan hitungan yang tak terbatas, karena pada saat itu al-qira’ah al-sahihah hanya disyaratkan memenuhi dua syarat; pertama, qiraat harus memenuhi salah satu diantara dialek bahasa Arab yang ada (wafqu ihda al-lahajat al-arabiyyah), kedua, banyaknya kelompok besar para sahabat yang mendapat qira’ah secara langsung dari nabi, atau pun dari sahabat kepada sahabat yang lain. Kemudian, pada saat munculnya rasm mushaf atau yang dikenal dengan nama mushaf uthmaniy, yang terjadi pada awal pemerintahan khalifah Uthman baru muncul syarat yang ketiga yaitu qira’ah harus sesuai atau mencocoki salah satu dari mushaf uthman, sehingga qiraat yang yang tidak sesuai dengan salah satu mushaf uthman dikenal dengan nama qira’ah syadhah. Seiring dengan perkembangan waktu, maka muncul penyempitan ketetapan bahwa qira’ah yang bersumber setelah hitungan sepuluh dari imam qurra’ yang masyhur (ma wara-a al-qira-at al-‘ashr) termasuk bagian dari qira’ah syadhah, yang tidak diperkenankan dibaca ketika salat atau di luar salat, walapupun masih terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama dalam ketetapannya. Qira’ah shadhdhah adalah salah satu bagian yang menarik untuk dikaji dalam kajian ilmu qira’ah. Diantara qira’ah shadhdhah yang cukup terkenal adalah qira’ah yang dibawakan oleh Ibn Muhaisin. Jurnal ini akan membahas tentang qira’ah Ibn Muhaisin, diawali dengan membahas seputar pengertian, hukum qira’ah shadhdhah dan dilanjutkan dengan membahas qira’ahnya Ibn Muhaisin serta beberapa contoh sebagai bahan pertimbangan kajian.
CITATION STYLE
Bashori, A. I. (2019). QIRA’AH SHADHDHAH IBN MUHAISIN. PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu Dan Hikmah, 4(1), 143–174. https://doi.org/10.51498/putih.v4i1.44
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.