Penelitian ini berkesimpulan bahwa alam dan manusia adalah sama-sama fitrah (suci). Setiap makhluk ciptaan Allah memiliki potensi mendapat hidayah dari Allah. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya, yaitu manusia dikarunia akal, sedangkan alam tidak. Sikap tunduk tidak mengimplikasikan bahwa manusia memiliki hak untuk mendominasi atau mengeksploitasi alam, tetapi memanfaatkan sumber-sumber alam sesuai perintah Allah. Inilah yang dimaksud dengan menjaga keseimbangan alam. Dimensi spiritualitas manusia sangat penting agar dapat memperlakukan alam dengan ramah dan santun. Nilai-nilai spiritual dalam diri manusia harus senantiasa diimplimentasikan dalam setiap lini kehidupan ketika berhubungan dengan alam, dan tugas manusia diutus ke alam semesta sebagai Khalîfah fî al-Ardh tidak terlepas dari unsur tauhîd, amânah, ‘adl, dan mîzan. Dalam konsep eko-spiritualisme, Allah ialah fokus tertinggi dari seluruh tindak tanduk manusia dan alam. Selain itu, kita bisa melihat bahwa kedudukan alam dan manusia sebagai mitra, dan hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa memperlakukan alam semena-mena karena kedudukan sebagai khalifah di bumi tidak dengan sendirinya diberikan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan bumi tanpa memerhatikan ekosistem dan keseimbangan. Sebagai manusia khususnya umat Islam yang merasakan dampak langsung dari krisis ekologi, umat Islam perlu membangun kesadaran pribadi (spirituality) menuju kesadaran semesta (ecologi spirituality) dan membangun suatu refleksi teologi akan pentingnya menyelamatkan dan melestarikan alam. Hal ini dapat dinyatakan dalam bentuk praksis yang berlandaskan eko-spiritualisme Al-Qur’an sebagai suatu nilai absolut – hudan li an-Nas.
CITATION STYLE
Akbar, M. I. (2024). Ekospiritualisme Al-Qur’an (Studi atas Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah Fî Al-Ardh dalam Penyelamatan Alam). Blantika: Multidisciplinary Journal, 2(5), 507–523. https://doi.org/10.57096/blantika.v2i5.141
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.