Pembangunan Negara, Hukum Pertanahan Indonesia,dan Kembalinya Tanah Kasultanan di Yogyakarta

  • Pranoto C
N/ACitations
Citations of this article
100Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Undang-Undang No. 30 tentang Pokok Agraria Tahun 1960 mengatur bahwa negara Indonesia (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) merupakan satu-satunya pemegang wewenang pertanahan yang dapat menguasai dan memberikan hak atas tanah pada warganegara. Namun, penerapan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta (UUK), tidak hanya memberikan status hukum yang jelas bagi lembaga Kasultanan Yogyakarta, melainkan juga memberikan kepadanya klaim dan wewenang atas tanah miliknya, Sultanaat Grond (SG). Pendekatan hukum-formal melihat bahwa ini adalah hasil dari pluralisme hukum pertanahan dan menyodorkan unifikasi hukum sebagai solusinya. Artikel ini berargumen bahwa pluralisme hukum bukanlah hasil dari kesalahan tata kelola pemerintahan, melainkan hasil rancangan dari pembangunan negara Indonesia sejak masa kolonial sampai dengan masa kini. Dengan menggunakan teori rezim penguasaan tanah (land tenure regime) untuk analisis, artikel ini melihat bahwa UUK Tahun 2012 yang melembagakan dan menghidupkan kembali Sultanaat Grond (SG) sebagai tanah kerajaan di Yogyakarta adalah konsekuensi logis dari kewenangan berlapis dari negara Indonesia: antara pemerintah pusat dan daerah, serta menguatnya politik tradisionalisme pasca-Reformasi.

Cite

CITATION STYLE

APA

Pranoto, C. B. (2017). Pembangunan Negara, Hukum Pertanahan Indonesia,dan Kembalinya Tanah Kasultanan di Yogyakarta. Jurnal Politik, 3(1). https://doi.org/10.7454/jp.v3i1.49

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free