Wanita diharapkan mampu menerima diri dengan kondisi infertilitas agar mengurangi tekanan psikologis. Faktanya, wanita yang mengalami infertilitas cenderung memiliki penerimaan diri rendah yang berdampak terhadap stres. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress pada wanita. Karakteristik subjek penelitian adalah berjenis kelamin perempuan dan belum memiliki anak setelah menikah selama minimal dua belas bulan. Sampel penelitian berjumlah 68 orang dan didapatkan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Self-acceptance diukur dengan Unconditional Self-acceptance Questionnaire – Short Scale milik Popov dan Sokic (2022). Infertility-related stress diukur dengan Copenhagen Multi-Center Infertility Psychosocial Infertility-Fertility Problem Stress Scale dari Sobral et al. (2017). Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik product moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-acceptance berkorelasi negatif dengan infertility–related stress (p = .009 < .05). Dengan kata lain semakin tinggi self-acceptance, maka infertility-related stress yang dirasakan akan semakin menurun. Sementara itu semakin rendah self-acceptance, maka semakin meningkat infertility-related stress. Temuan ini menunjukkan bahwa self-acceptance mampu dicapai dengan adanya dukungan dari lingkungan sosial. Wanita dengan kondisi infertilitas memerlukan dukungan positif dan bukan stigma negatif terkait infertilitas. Temuan ini dapat memunculkan ide penelitian selanjutnya mengenai intervensi berbasis self-acceptance pada wanita dengan kondisi infertilitas.
CITATION STYLE
Pelupessy, D. T. E., Retnoningtias, D. W., & Hardika, I. R. (2023). SELF-ACCEPTANCE DAN INFERTILITY-RELATED STRESS. Journal of Psychological Science and Profession, 7(1), 69. https://doi.org/10.24198/jpsp.v7i1.42843
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.