Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi kedudukan hukum hak mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan dirinya kembali dalam pemilihan umum melalui perspektif hukum syariah dan fiqh siyasah. Pemilihan umum merupakan momentum transisi pemerintahan dan manifestasi utama dari proses demokratisasi kehidupan bernegara yang berlandaskan pada prinsip kedaulatan rakyat. Untuk itu, Pemilu harus mampu diproyeksikan guna menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan memiliki religiusitas yang tinggi. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan positif untuk mengidentifikasi kedudukan permasalahan secara objektif dalam tata hukum Indonesia. Pendekatan komparatif digunakan untuk mengetahui disparitas persepsi antara kebijakan kebolehan mantan narapidana korupsi menjadi kandidat dalam pemilu menurut logika undang-undangan dengan hukum syariah dan fiqh siyasah. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan permisif yang diorientasikan guna memberikan perlindungan HAM bagi mantan terpidana korupsi atas hak politiknya, secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan fiqh siyasah yang memandang kedudukan pemimpin dalam posisi mulia, sehingga mensyatkan calon pemimpin untuk bebas dari perbuatan tercela.
CITATION STYLE
Yanto, A., & Hikmah, F. (2023). Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi Menjadi Peserta Pemilihan Umum Dalam Perspektif Hukum Syariah dan Fiqh Siyasah. Recht Studiosum Law Review, 2(2), 92–101. https://doi.org/10.32734/rslr.v2i2.14164
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.