Tujuan penelitian ini untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan kecenderungan paradigma yang diikuti oleh hakim dalam memutus perkara korupsi di Pengadilan. Rumusan masalahnya adalah: (1) Paradigma hukum apa yang diikuti oleh para hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi di pengadilan?; (2) Implikasi hukum apakah yang muncul akibat pilihan dari paradigma tersebut?. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum doktrinal dan masuk dalam kategori penelitian kualitatif. Data-data penelitian dikumpulkan dengan cara studi dokumen terhadap putusan-putusan pengadilan tentang korupsi serta wawancara mendalam terhadap subjek/hakim, nara sumber dan informan penelitian. Data-data penelitian dianalisis dengan pendekatan kasus, fenomenologi dan hermeneutik. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan antara karakter penafsiran yang digunakan oleh hakim dalam memaknai tindak pidana korupsi dengan vonis yang dijatuhkan. Jika hakim menggunakan penafsiran sempit dalam menilai tindak pidana korupsi, maka ada kecenderungan vonis yang dijatuhkan tidak bersalah, sebaliknya jika hakim mengikuti penafsiran yang luas, maka terdapat kecenderungan vonis bersalah. Implikasi temuan penelitian ini berhasil membuat klasifikasi tentang karakteristik hakim dalam menafsirkan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu terdapat hakim yang mengikuti penafsiran luas dan hakim yang mengikuti penafsiran sempit. Penafsiran luas adalah penafsiran progresif yang bersifat holistik yang meliputi penafsiran secara teleologis, sosiologis, ekstensif dan sistematis. Penafsiran sempit adalah penafsiran yang hanya mengandalkan penafsiran secara yuridis- positivis yakni penafsiran gramatikal dan tekstual. Penafsiran yang terakhir ini masih menjadi paradigma mainstream di kalangan hakim di pengadilan.
CITATION STYLE
Alkostar, A. (2008). Mengkritisi Fenomena Korupsi di Parlemen. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 15(1), 1–13. https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss1.art2
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.