Pernyataan Gus Yaqut seputar Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala menuai kontroversi. Pasalnya Menteri Agama RI dianggap membandingkan kumandang adzan dengan gonggongan anjing. Publik bereaksi bahwa ketua GP Ansor itu dituduh telah menistakan agama Islam. Penelitian ini mengkaji pernyataan Menteri Agama RI dengan menggunakan pendekatan semiotika piercian. Dengan skema Morris tentang sistem tanda, kajian ini menguji fakta linguistik verbal yang dianggap fatal. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik simak-catat. Hasil telaah data dijabarkan secara deskriptif. Data penelitian berupa sintagma-sintagma diuji sebagai fakta semiotik bermakna baik secara gramatik dan pragmatik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga kategori semiotika Morris (sintaksis, semantik, dan pragmatik) yang operasionalkan pada telah pernyataan Menteri Agama RI tidak ditemukan fakta penistaan agama. Relasi sintaktik antara “adzan” dan “gonggongan anjing” merupakan konstruksi gramatikal sebagai analogi yang dalam retorika publik digunakan untuk menyatakan “kebisingan audiotif” yang terjadi di tengah masyarakat. Analogi bukan sebuah perbandingan (binier) untuk melakukan penyejajaran, melainkan mengkonkretkan sebuah pernyataan agar pesan dipahami dengan mudah oleh penerima pesan. Penganalogian tersebut dilakukan agar substansi Surat Edaran Menteri Agama RI diterima publik jamak secara jelas, sedangkan fakta yang terjadi menunjukkan penegasan jika entitas bahasa di tengah masyarakat sangat dinamis, liar, dan terkadang akrobatik dari tujuan awal.
CITATION STYLE
Safitri, T. S., & Atikurrahman, Moh. (2023). Anjing Menggonggong Muazin Berlalu: Toa Masjid, Gus Yaqut, dan Semiotika Morris. GHANCARAN: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 4(2). https://doi.org/10.19105/ghancaran.v4i2.6753
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.