Selera Keindahan Warga Tionghoa di Semarang: Studi Kasus Transformasi Fungsi Musik Hiburan ke Ritual

  • Patriantoro T
N/ACitations
Citations of this article
16Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Artikel ini menganalisa tentang selera keindaan yang mendapatkan intervensi dari politik praktis. Kondisi politik yang dimaksudkan adalah adanya INPRES no. 14 tahun 1967 yang berisi tentang larangan bagi Masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk menggelar acara budaya di depan umum. Munculnya Inpres tersebut mempengaruhi eksistensi Masyarakat Tionghoa dan menyebabkan para pelaku seni untuk merubah fungsi musik yang awalnya bersifat hiburan menjadi pseudo ritual. Proses perpindahan fungsi tersebut juga berdampak pada letak keindahan, dimana  ungkapan spontan seperti “ciamik”, perasaan kagum, dan gesture bahagia tereduksi secara politis. Pemeliharan pola dari pemerintah dengan adanya INPRES serta tuduhan subversif bagi warga negara yang melanggar, menyebabkan struktur kultural musik menjadi berubah pula. Seperti pemilihan lagu yang harus menghilangkan syair duniawi, pemilihan tempo musik dengan irama dinamis, dan genre musik. Hal ini menyebabkan letak citarasa keindahan dalam bermusik tidak bersifat universal, dikarenakan adanya kerinduan dari masyarakat setelah terbebas dari INPRES. Tujuan dari artikel ini adalah menganalisa bentuk pembelajaran/penularan ilmu kepada generasi berikutnya dengan penyesuaian kondisi eksternal seperti faktor sosial, politik, dan ekonomi. Metode yang digunakan adalah pendekatan antar bidang dengan payung utama etnomusikologi.Kata Kunci:ciamik, estetika Tionghoa, transformasi musik, ritual Chinese’s Taste of Beauty in Semarang:Case Study on the Transformational Function of Music from Entertainment into Rituals ABSTRACTThis article analyzes the sense of desire that gets intervention from practical politics. The intended political condition is the existence of INPRES no. 14 of 1967 which contained a prohibition on Chinese Communities in Indonesia to hold cultural events in public. The emergence of the INPRES influenced the existence of the Chinese community and caused the perpetrators of the arts to change the function of music which was originally as an entertainment into a pseudo ritual. The process of transferring this function also affects the aesthetics location, where spontaneous expressions such as "ciamik", feelings of awe, and gesture of happiness are reduced politically. The pattern maintenance from the government with the INPRES and allegations of subversion for citizens who violate causes the change of music cultural structure as well. Like the selection of songs that must eliminate worldly lyrics, using dynamic rhythms as the tempo, and musical genres. This causes the aesthetics of music cannot be enjoyed universally, due to the longing of the community after being freed from the INPRES. The purpose of this study is to analyze the form of learning or transmission of knowledge for the future generations with adjustments to the conditions of social, political, and economic factors. The method used is the integrated approach concerning in ethnomusicology.Keywords: ciamik, Chinese aesthetics, musical transformation, pseudo ritual.

Cite

CITATION STYLE

APA

Patriantoro, T. H. (2019). Selera Keindahan Warga Tionghoa di Semarang: Studi Kasus Transformasi Fungsi Musik Hiburan ke Ritual. Imaji, 17(1), 44–50. https://doi.org/10.21831/imaji.v17i1.23478

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free