Hubungan antara Yang Memerintah dengan Yang Diperintah menciptakan tiga relasi: 1) Yang Memerintah sebagai pelayan kepada warga negara dan Yang Diperintah sebagai penerima layanan publik; 2) Yang Memerintah sebagai penjual barang-barang publik dan Yang Diperintah sebagai pembelinya secara gratis; dan 3) Yang Memerintah sebagai penguasa yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan layanan publik dan layanan civil dan Yang Diperintah sebagai korban. Pembentukan pemerintah desa di bawah UU No.6/2014 menciptakan relasi antara Yang Memerintah dengan Yang Diperintah dimana Yang Diperintah (rakyat desa) sebagai korban. Hal ini terjadi karena desain dan struktur organisasi yang dibangun tidak menjadikan Pemerintah Desa sebagai instrumen pelayanan publik di desa tapi hanya sebagai perantara (tussenpersoon atau mediator) antara Yang Memerintah dengan Yang Diperintah. Pemerintah Desa tidak mempunyai organ yang melayani rakyat desa. Akibatnya rakyat desa tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, irigasi,pertanian, perikanan, transportasi publik perdesaan, industri, dan perdagangan. Kegiatan Pemerintah Desa secara aktual hanya mengeluarkan Surat Keterangan, memobilisasi rakyat untuk membangun infrastruktur melalui lembaga korporatis buatan Negara (RT, RW, PKK, LPM, P3A, dan Karang Taruna), menarik pajak, membuat laporan penduduk, dan melaksanakan proyek Pemerintah Atasan. Untuk itu, Pemerintah Desa perlu direformasi menjadi pemerintah lokal otonom modern dengan fungsi menyejahterakan rakyat yang dilakukan dengan cara memberi layanan publik dan layanan civil kepada rakyat desa.
CITATION STYLE
Nurcholis, H. (2019). Rakyat Desa, Negari, Gempong, Marga, dan Sejenisnya Menjadi Korban Pemerintah Desa dan Pemerintah Atasan. Jurnal Ilmu Administrasi Negara ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara), 7(1), 1–12. https://doi.org/10.47828/jianaasian.v7i01.20
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.