Konversi lahan pertanian berdampak permanen dalam artian lahan yang terkonversi cenderung sulituntuk menjadi lahan basah kembali. Konversi juga memiliki pola berantai yaitu alih fungsi lahan akanselalu diikuti dengan berkembangannya infrastruktur setempat sehingga lahan-lahan disekitarnyamenikmati keuntungan akses yang dengan sendirinya meningkatkan nilai dan harga lahan. Dalamupaya mengontrol tingkat konversi lahan pertanian, banyak aturan dan regulasi telah dikeluarkanPemerintah Republik Indonesia, termasuk yang terbaru UU No 41 Tahun 2009 tentang PerlindunganLahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penelitian ini mengkaji relevansi regulasi ini terhadap dinamikapembangunan perkotaan serta menganalisa pengaruh pendekatan insentif terhadap keinginan petanimempertahankan lahan. Hasil analisa menunjukkan bahwa, model insentif yang dimandatkan dalamUndang-Undang no 41 Tahun 2009 bukanlah sebuah gagasan baru khususnya dalam menjawabdinamika pembangunan perkotaan. Kebijakan insentif ini sangat bergantung pada anggaranpemerintah daerah yang mana hal ini berpengaruh pada distribusi insentif yang tidak merata. Lebihjauh, skema insentif ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas yang mana dalam konteksKabupaten Badung, nilainya cenderung menurun sebagai akibat dari fragmentasi lahan oleh systempewarisan. Hasil analisa regresi menunjukkan bahwa kontribusi lahan bagi ekonomi keluarga, sertatingkat kepuasan terhadap skema insentif tidak berpengaruh pada keputusan mempertahankan lahan,dimana keputusan ini secara umum dipengaruhi oleh faktor harga lahan.Kata kunci: konversi lahan pertanian, kebijakan publik, insentif
CITATION STYLE
Putra, I. W. I. P. (2014). Incentive Approach Toward Retaining Cultivated Farmland. A Case of Badung District, Bali Province. JURNAL PEMBANGUNAN WILAYAH & KOTA, 10(4), 369. https://doi.org/10.14710/pwk.v10i4.8164
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.