Penelitian ini berusaha mengurai prinsip siyāsah qaḍhā’iyyah terhadap kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden, dan bagaimana relevansi konsep siyāsah qaḍhā’iyyah terhadap kewenangan pemberhentian Presiden melalui MK. Berdasarkan Pasal 7B Ayat (1), pemberhentian Presiden di Indonesia hanya dapat diusulkan oleh DPR kepada MPR, hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK, untuk diperiksa, diadili, dan diputuskah secara yuridis benar/tidaknya dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden/Wakil Presiden. Ketika nantinya putusan akhir MK menyatakan Presiden bersalah, barulah kemudian usul pemberhentian Presiden dapat diteruskan oleh DPR kepada MPR. Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemberhentian kepala negara tidaklah melibatkan lembaga yudikatif di dalamnya. Walaupun dalam ketatanegaraan Islam, juga memiliki lembaga peradilan (qaḍhā’iyyah). Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan penelitian library research dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tinjauan siyāsah qaḍhā’iyyah terhadap kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden dapat disamakan dengan kewenangan Wilayah al-maẓhālim dalam mengadili berbagai kezaliman, penganiayaan dan kesewenang-wenangan penguasa/kepala negara terhadap rakyatnya. Kemudian, konsep siyāsah qaḍhā’iyyah relevan dengan konsep peradilan di Indonesia. Keduanya sama-sama merupakan peradilan yang merdeka, mandiri, serta bebas dari pengaruh/intervensi pihak manapun. Berdasarkan hal tersebut, maka konsep siyāsah qaḍhā’iyyah relevan dengan kewenangan pemberhentian Presiden melalui MK.
CITATION STYLE
Mulia Sari, Zahlul Pasha Karim, & Muhammad Siddiq Armia. (2023). Analisis Siyāsah Qaḍhā’iyyah Terhadap Pemberhentian Presiden Melalui Mahkamah Konstitusi. JAPHTN-HAN, 2(1), 37–62. https://doi.org/10.55292/japhtnhan.v2i1.56
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.