The rapid growth of information technology, along with the increasing global digital economy and the public's need for reliable and secure payments, led to the invention of various digital currencies, including cryptocurrency. These currencies are based on the principles of supply and demand, with Bitcoin emerging as the leading crypto. This study aims to analyze the potential and challenges of using Bitcoin as a medium of exchange or commodity in Indonesia. Employing a qualitative approach, the study extensively explores library research methods, gathering data from various scholarly sources, including articles, books, and other relevant documents. The findings reveal that from an Islamic jurisprudence (fiqh) perspective, electronic money is considered a legitimate transactional instrument, similar to physical currency. Any costs incurred during the top-up process are considered as wages or fees (ujrah). If Bitcoin were to attain currency status, it would be subject to regulation under currency exchange laws (al-sarf) and categorized as usury property (al-maal al-ribawi). However, due to the absence of regulatory oversight by Indonesian financial authorities, the use of Bitcoin as a medium of exchange or a commodity does not carry legal implications. This regulatory gap results in more disadvantages than advantages in its implementation.============================================================================================================ABSTRAK – Dari Fikih ke Keuangan: Mengases Status Bitcoin dalam Sistem Moneter Indonesia. Pertumbuhan teknologi informasi yang pesat diikuti perkembangan ekonomi digital global, dan kebutuhan masyarakat akan metode pembayaran yang handal dan aman, memunculkan berbagai mata uang digital, termasuk cryptocurrency. Nilai uang ini didasarkan pada prinsip permintaan (demand) dan penawaran (supply), dimana Bitcoin menjadi mata uang cripto yang paling populer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan tantangan penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar atau sebagai komoditas di Indonesia. Dengan pendekatan kualitatif, studi ini menggunakan metode library research dengan mengumpulkan data-data dari artikel, buku, dan berbagai sumber ilmiah relevan lainnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dari sudut pandang fikih, uang elektronik dianggap sebagai alat pembayaran yang sah, disamakan dengan uang fisik. Untuk biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses pengisian ulang dianggap sebagai ujrah. Jika Bitcoin berstatus sebagai alat tukar resmi, maka pengaturannya akan berada dalam konteks al-sarf dan dikategorikan sebagai harta ribawi (al-maal al-ribawi). Akan tetapi, OJK sebagai otoritas keuangan di Indonesia telah menerbitkan aturan yang melarang lembaga keuangan menggunakan, memasarkan, dan memfasilitasi perdagangan aset kripto. Meskipun Bitcoin dapat diperdagangkan sebagai komoditas di bawah pengawasan Bappebti Kementerian Perdagangan, ia tidak diakui sebagai instrumen pembayaran di Indonesia. Oleh karena itu, penggunaannya dalam transaksi keuangan berpotensi menimbulkan lebih banyak kemudharatan dibandingkan kemaslahatan akibat ketiadaan status hukum sebagai alat tukar.
CITATION STYLE
A Wahid, N., Amanatillah, D., & Fitri, C. D. (2023). From Fiqh to Finance: Assessing Bitcoin Status in Indonesian Monetary System. Share: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam, 12(2), 308. https://doi.org/10.22373/share.v12i2.17762
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.