Masing-masing gua/ceruk menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gua antara Gua Lawa dengan Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, dan Ceruk Sulur menunjukkan perbedaan yang mencolok. Tampaknya Gua Lawa pada komunitas ini dimanfaatkan sebagai gua induk, di mana seluruh aktivitas komunitas berlangsung. Sementara itu Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, dan Ceruk Sulur dimanfaatkan untuk aktivitas pendukung. Hal tersebut didasarkan pada perbandingan hasil ekskavasi antara Gua Lawa dengan ceruk-ceruk sekitarnya. Temuan artefak, ekofak dan fitur pada Gua Lawa lebih bervariasi baik kualitas maupun kuantitasnya dibanding ceruk-ceruk sekitarnya yang temuannya cenderung homogen berupa artefak litik. Selain itu, berdasarkan temuan artefak pada Ceruk Layah menunjukkan adanya perkembangan pemanfaatan ceruk. Pada awalnya (lapisan bawah) Ceruk Layah dimanfaatkan sebagai perbengkelan alat batu, selanjutnya pada masa kemudian (lapisan atas) didorninasi temuan tembikar. Sementara temuan ekofak pada ceruk-ceruk sekitar Gua Lawa cenderung minim. Hal tersebut dapat disirnpulkan bahwa pola kornunitas gua di Sampung terdiri atas gua induk dengan kompleksitas budaya yang berlangsung dan gua/ceruk pendukung yang dimanfaatkan untuk aktivitas sekunder.
CITATION STYLE
Nurani, I. A. (2003). Pola Komunitas Gua Di Sampung, Ponorogo. Berkala Arkeologi, 23(2), 1–14. https://doi.org/10.30883/jba.v23i2.871
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.