Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945 memberikan legitimasi terhadap Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang merupakan hasil kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan GAM. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Permasalahannya adalah materi qanun tersebut dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007. Pemerintah Pusat menghendaki perbaiki terhadap beberapa materi qanun, namun pihak Pemerintah Aceh dianggap menyalahi MoU Helsinki. Rumusan masalah kajian ini sebagai berikut: Pertama, apakah landasan pemikiran lahirnya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh? Kedua, apakah akibat hukum dari adanya Pasal 246 ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 247 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh? Ketiga, apakah akibat hukum adanya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh? Hasil penelitian sebagai berikut: Pertama, menemukan landasan pemikiran lahirnya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh terdiri dari Pasal 18B UUD Tahun 1945 serta perumusan Pasal 246 dan Pasal 247 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Kedua, bahwa akibat hukum dari adanya Pasal 246 dan Pasal 247 berlaku dan sah untuk diterapkan melalui pembentukannya Qanun Aceh. Ketiga, konsekuensi yuridis adanya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 berlaku secara yuridis dan dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh karena sudah diundangkan dalam lembaran daerah. Tentu sudah berlaku secara otomatis karena pada saat disahkan oleh Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintah Aceh dan DPRA secara serta merta diundangkan dalam lembaran daerah Pemerintah Provinsi Aceh. Legal Certainty of Qanun Aceh Number 3 Year 2013 On Flag and Symbol of Aceh The 1945 Constitution Article 18B paragraph (1) gives legitimacy to the Aceh Qanun Number 3 of 2013 on the Flag and the Symbol of Aceh which is the result of the Government of Indonesia's agreement with GAM. This is then poured into Law Number 11 Year 2006 regarding Aceh Government. The problem is that the Qanun material is considered to be contradictory to Government Regulation Number 77 of 2007. The central government wants to improve on some of the Qanun material, but the Government of Aceh is considered to have violated the Helsinki MoU. The formulation of the problem as follows: First, what is the basis of thinking the formulation of Aceh Qanun Number 3 of 2013 on the flag and the symbol of Aceh? Second, what are the legal consequences of the existence of Article 246 paragraph (2), and paragraph (4) and Article 247, Law Number 11 Year 2006 regarding Aceh Government? Thirdly, what are the legal consequences of Aceh Qanun Number 3 of 2013 on the Flag and the Symbol of Aceh? The results of the research are as follows: First, find the foundation of the thought of the birth of Aceh Qanun Number 3 of 2013 on the Flag and the Symbol of Aceh consists of Article 18B of the 1945 Constitution and the formulation of Article 246 and Article 247 of Law Number 11 Year 2006. Second, the existence of Article 246 and Article 247 is valid and valid to be implemented through the establishment of Aceh Qanun. Thirdly, the juridical consequences of the Aceh Qanun Number 3 of 2013 are valid in juridical manner and can be acted upon by the Government of Aceh as already enacted in the regional slabs. Of course already valid automatically because at the time passed by the Governor of Aceh as Head of the Government of Aceh and DPRA is immediately promulgated in the sheet area of Aceh Provincial Government.
CITATION STYLE
Arabiyani, A. (2018). Kepastian Hukum Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(2), 295–314. https://doi.org/10.24815/kanun.v20i2.11165
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.