Kerajaan maritim Sriwijaya pada masa kejayaannya tidak hanya mengontrol jalur perdagangan rempah dunia, tetapi juga menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara yang sangat maju. Agama Buddha berangsur-angsur lenyap di Nusantara seiring dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, tetapi menyisakan bekas-bekas peninggalan dalam berbagai bidang hingga saat ini, seperti situs-situs bersejarah, bahasa dan juga budaya. Melalui studi kepustakaan dengan metode deskriptif interpretatif dalam tulisan ini, penulis hendak mengenalkan kembali ajaran Buddha, terutama dari sisi psikologi dan etika berdasarkan kitab suci Tipitaka Canon Pali. Etika psikologis Buddhisme terdapat di dalam Abhidhamma Pitaka yang merupakan kumpulan ketiga dari kitab suci agama Buddha. Manusia dalam pandangan Buddhisme adalah kombinasi psikofisik antara batin (nāma) dan materi/badan jasmani (rūpa). Batin adalah kombinasi dari kesadaran (citta) dan faktor-faktor mental (cetasika), kombinasi ini merupakan keberagaman kondisi dari batin. Terdapat 121 jenis kesadaran, 52 jenis faktor-faktor mental dan 28 unsur materi, yang secara etika diklasifikasikan ke dalam yang baik, buruk dan netral, tetapi diuraikan dari sudut pandang psikologis, sebagian besar merupakan analisis data psikologis. Kesadaran merupakan pencetus ucapan dan perilaku seseorang, kesadaran yang baik dapat mencetuskan ucapan dan perilaku yang baik, demikian juga sebaliknya. Kepribadian manusia dikondisikan dan dipertahankan oleh aktivitas kesadaran dan akibatnya, karakter seseorang juga ditentukan oleh kesadaran. Psikologi Buddhisme telah terintegrasi dengan psikologi barat modern, yang disebut "Psikologi Konjungtif”. Proses interdependen dari fungsi psiko-fisik kepribadian manusia, adalah proses yang sangat penting dalam metode psikoterapi Buddhisme.
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.
CITATION STYLE
Yunia, T. K. (2022). Pengantar Etika Psikologis Buddhisme. Humanitas (Jurnal Psikologi), 6(1), 1–28. https://doi.org/10.28932/humanitas.v6i1.3892