Pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa di bidang hukum perdata diharapkan dapat memberikan keadilan bagi setiap orang. Selain harus bersifat independen dan berintegritas, pengadilan juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat dengan biaya murah, prosedur sederhana dan jangka waktu penyelesaian perkara yang singkat. Pada tahun 2015 Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang kemudian, dilakukan perubahan pada tahun 2019 untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui gugatan sederhana. Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data kepustakaan dengan pendekatan perundangundangan. Mekanisme penyelesaian gugatan sederhana melalui Perma No. 4 Tahun 2019 dimulai dari pendaftaran gugatan sederhana, pemeriksaan kelengkapan berkas gugatan sederhana, penetapan panjar biaya perkara, penetapan hakim dan penunjukan panitera/panitera pengganti, pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang pertama dan perdamaian, pembuktian dan putusan. Problematika yang muncul dalam penerapan gugatan sederhana pada penyelesaian perkara perdata antara lain tidak hadirnya para pihak pada sidang pertama dan belum bisa diterapkannya persidangan secara elektronik (e-litigation) karena para pihak belum memahami tata cara persidangan secara elektronik.
CITATION STYLE
Umami, Y. Z., & Prakoso, A. P. (2023). PROBLEMATIKA DALAM PENERAPAN GUGATAN SEDERHANA PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI INDONESIA. QISTIE, 16(1), 177. https://doi.org/10.31942/jqi.v16i1.8449
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.