Remunerasi muncul sebagai solusi terhadap isu-isu korupsi yang menimpa sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat di lingkungan birokrasi. Remunerasi diharapkan bisa meningkatkan kinerja mereka menjadi lebih baik, namun faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Dalam pemberitaan sejumlah media, tidak sedikit orang yang bekerja di lingkungan pemerintahan yang absen dari praktik korupsi, meski mereka sudah bergaji tinggi. Remunerasi, yang dalam kajian literatur juga disebut dengan istilah pay-for-performance system, merupakan penggunaan pengukuran kinerja yang dikaitkan dengan pemberiaan (kompensasi) yang sesuai. Dengan adanya kompensasi yang layak, pegawai tidak lagi memikirkan tentang mencari keuntungan-keuntungan finansial dengan cara-cara yang tidak dibenarkan secara hukum. Di sisi yang lain, kompensasi yang rendah akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang juga rendah. Penerapan remunerasi merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mengarah kepada good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), yang dibarengi dengan reformasi birokrasi. Terdapat kaitan yang sangat erat antara kompensasi dan kualitas pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik juga ditentukan oleh adanya motivasi, namun tumbuhnya motivasi yang bagus karena adanya kompensasi yang tinggi. Dalam perkembangannya, remunerasi tidak absen dari kritik. Bahkan, boleh dibilang kebijakan remunerasi kerap salah arah dan sasaran. Karena itu, pemerintah perlu menyertakan kebijakan ini dengan pemberian sanksi yang ketat jika ada pegawai atau pejabat yang melakukan kesalahan, indisipliner, dan menyalahi aturan yang ada.
CITATION STYLE
Susanto, H. (2016). REMUNERASI DAN PROBLEM REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA. Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 1(1). https://doi.org/10.26905/pjiap.v1i1.427
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.