Terorisme merupakan salah satu jenis tindak pidana khusus, dalam beberapa kasus terakhir tindak pidana terorisme di Indonesia kerap melibatkan anak dibawah umur dalam menjalankan aksi teror, seperti kasus terorisme di Surabaya beberapa waktu lalu. Dengan melibatkan anak dalam suatu kasus tindak pidana terorisme maka diperlukan suatu penanganan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme tersebut, dikarenakan anak pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dijatuhi hukuman mati maupun hukuman seumur hidup. Penanganan khusus tersebut dalam UndangUndang SPPA 2012 dan Undang –Undang Anti Terorisme 2018 dapat berupa rehabilitasi yang merupakan salah satu bagian dari diversi, dan deradikalisasi yang merupakan suatu program dari BNPT. Rehabilitasi dan Deradikalisasi meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu suatu perbaikan terhadap anak pelaku terorisme, kedua program tersebut memiliki beberapa perbedaan-perbedaan dimana deradikalisasi didalamnya memiliki program-program yang lebih khusus untuk penanganan dan perbaikan terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme seperti bimbingan mengenai wawasan kebangsaan, bimbingan wawasan keagamaan, serta beberapa program kerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk menjalankan program deradikalisasi ini, sedangkan pada program rehabilitasi sosial dalam Undang-Undang SPPA 2012 yang dilakukan oleh LPKS program-programnya lebih ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat umum, hal ini dikarenakan program yang terdapat dalam rehabilitasi sosial lebih ke bersifat vokasional serta pengembangan bakat kepada anak. Sedangkan pada penanganan kasus tindak pidana terorisme diperlukan suatu penanganan khusus menghilangkan pemikiran radikal pada anak pelaku teorisme.
CITATION STYLE
Firmansyah, R. (2019). Rehabilitasi dan Deradikalisasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme. Jurist-Diction, 2(2), 669. https://doi.org/10.20473/jd.v2i2.14258
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.