Berbicara mengenai budaya orang Mentawai tidak bisa dilepaskan dari telaah mengenai Sabulungan. Kepercayaan lokal Mentawai yang mengakui keberadaan dan pengaruh roh-roh alam tersebut seringkali dilukiskan sebagai landasan keselarasan manusia dan lingkungannya. Pada tahun 1954 peristiwa Rapat Tiga Agama menjadi sarana legitimasi tindakan pelarangan Sabulungan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh upaya negara ‘’mendisiplinkan’’ agama di Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dominasi yang diwarnai tindak diskriminasi dan kekerasan itu memunculkan konflik ideologi antara negara dan orang Mentawai di Siberut. Tesis ini berisikan ulasan mengenai bagaimana dominasi negara atas sebuah kepercayaan lokal di Seberut memunculkan perlawanan terselubung dari orang Mentawai yang berusaha menjaga identitas budaya mereka. Model perlawanan tersebut menurut kajian James C. Scott merupakan senjata orang-orang yang kalah menghadapi kelas yang mendominasi kehidupan mereka. Ritual-ritual tradisi Sabulungan ditampilkan kembali sebagai ekspresi budaya sambil menghidupi keberagaman sesuai anjuran dan tuntutan pemerintah. Upaya revitalisasi budaya melalui semangat inkulturatif yang ditawarkan Gereja Katolik dan penyadaran nilai-nilai budaya melalui melalui pendidikan berjalan namun bukan tanpa halangan. Makin lunturnya penghayatan akan Sabulungan dan nilai budaya di dalamnya serta perubahan gaya hidup modern menunjukkan gegar budaya dan ambivalensi yang dialami orang Mentawai di Seberut dewasa ini.
CITATION STYLE
Glossanto, K. (2023). Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas religi orang Mentawai di Siberut Selatan. Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora, 8(1), 10–23. https://doi.org/10.24071/ret.v8i1.4671
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.