Konstelasi politik Nasional terasa menghangat pada dekade 1950-an ketika muncul sebuah terminnlogi fiqih siyasah yang cukup kontroversial, yakni Waliy al-Amr Dharuriy bi al-Syawkah yang lebih kurang berarti ''pejabat tertinggi negara untuk sementara, dengan kekuasaan efektif Terminologi ini mulai muncual dan menjadi bahan pembicaraan publik pada saat Konfrensi Alim Ulama (3-6 Maret 1954)yang diprakarsai Nahdlatul Ulama (NU) dan Departemen Agama Republik Indonesia.Pada intinya, fatwa ini berisi dukungan terhadap Presiden Soekarno yang mendapal gugatan dari kelompok '1slam Radikal" terutama menyangkut keabsahan (kegitimasi) kepemimpinannya dilihat dari persfektif potik keagamaan (Islam). Tak pelak, fatwa ini menuai kritik politis-pejoratif dan pandanganpandangan miring serta menuding NU sebagai kelompok oportunis. Mereka menganggap NU telah mencampuradukkan dan 'menjual' agama demi kepentingan politik kelompoknya.Secara sosiologis, fenomena ini menarik diamati. Sebab, disinyalisasi akan dapat ditemukan berbagai kenyataan kemasyarakatan_yang dimungkinkan menjadi latar sehinnga memicu munculnya fatwa (politik keagamaan) ini, dengan menampik (sejenak) tudingan yang menyebut adanya indikasi politis kalangan NU. Maka dari titik inilah, tulisan ini berangkat.
CITATION STYLE
Kharlie, A. T. (2005). FATWA POLITIK NAHDLATUL ULAMA. ALQALAM, 22(1), 21. https://doi.org/10.32678/alqalam.v22i1.1447
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.