DUALISME YURISDIKSI ANTARA PERADILAN UMUM DAN PERADILAN AGAMA TERHADAP SENGKETA EKONOMI SYARIAH

  • Aryanto J
N/ACitations
Citations of this article
19Readers
Mendeley users who have this article in their library.
Get full text

Abstract

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan PeradilanAgama berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentang PeradilanAgama, yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tetangPerbankan Syariah. Ketetuan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) telah terjadicontradictio in terminis. Pada penjelasan ayat (2) huruf d frasa “Pengadilandalam lingkungan Peradilan Umum” telah diposisikan sebagai penyelesaian nonlitigasi merupakan penempatan norma yang keliru. Oleh karenanya, ketentuantersebut haruslah dikesampingkan dikarenakan Peradilan Umum merupakanpenyelesaian litigasi. Berdasarkan asas personalitas keislaman dan asaspenundukan diri secara sukarela kepada hukum Islam, sebagaimana ketentuanUU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketaekonomi syariah khususnya bank syariah menjadi kewenangan peradilan agama.Selain itu, asas lex specialis derogate legi generalis, yaitu aturan khususmengenyampingkan aturan yang umum. Dalam hal ini, ketentuan UU No.3 Tahun2006 tentang Peradilan Agama adalah sebagai aturan khusus yangmengenyampingkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya pada huruf dUU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan aturanumum. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan Pasal 1338KUHPerdata tidaklah bersifat absolut sepanjang bertentangan dengan syariah,dan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka perikatan/perjanjiantersebut boleh dilaksanakan. Prinsip utama penyelesaian sengketa syariah adalah tidak boleh bertentangandengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7) jo. Pasal2 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada dasarnya penerapansanksi baik berupa denda terhadap setiap keterlambatan pembayaran utang olehnasabah mampu yang sengaja melalaikan dan menunda-nunda kewajibannyauntuk melaksanakan pembayaran, maupun sanksi dwangsom (uang paksa)terhadap perbuatan wanprestasi yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dankelalaian, maka sanksi tersebut dapat dijatuhkan sepanjang telah disepakatidalam akad yang telah ditandatangani bersama oleh para pihak, yang bertujuanuntuk menegakkan maqasyd syariah agar nasabah lebih disiplin dalammelaksanakan kewajibannya. Hal ini sejalan dengan al-Quran (QS. Al-Baqarah: 280) dan al-Hadits serta fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.

Cite

CITATION STYLE

APA

Aryanto, J. (2019). DUALISME YURISDIKSI ANTARA PERADILAN UMUM DAN PERADILAN AGAMA TERHADAP SENGKETA EKONOMI SYARIAH. ADIL: Jurnal Hukum, 3(1), 93–122. https://doi.org/10.33476/ajl.v3i1.836

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free