One common form of muamalah activity is agricultural cooperation between landowners and land managers, where the results will be shared according to the agreement. There are three types of agricultural cooperation in Islam: muzara'ah, mukhabarah, and musaqah. This research aims to explore the implementation of the profit-sharing cooperation system in land entrustment in Banjarwaru Hamlet and the fiqh muamalah review of the practice of land cultivation cooperation using the mukhabarah system and the profit-sharing system based on Law No.2 of 1960 concerning Production Sharing Agreements. The method of analysis used is normative juridical data analysis with a descriptive approach based on the results of interviews and literature. The results show that the practice of cooperation is similar to the concept of mukhabarah, but it is not entirely appropriate because there is uncertainty in the contract, such as the absence of a clear period of cooperation and percentage of profit sharing. In the perspective of muamalah fiqh, this type of cooperation is not allowed. Therefore, it is important to review the suitability of the contract made with the concept of mukhabarah so that the cooperation is in accordance with Islamic law. Salah satu bentuk kegiatan muamalah yang umum dilakukan adalah kerja sama pertanian antara pemilik lahan dan pengelola lahan, di mana hasilnya akan dibagi sesuai kesepakatan. Ada tiga jenis kerja sama pertanian dalam Islam: muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pelaksanaan sistem kerja sama bagi hasil dalam titip lahan di Dusun Banjarwaru dan tinjauan fikih muamalah terhadap praktik kerja sama penggarapan lahan menggunakan sistem mukhabarah dan sistem bagi hasil berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif berdasarkan hasil wawancara dan literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik kerja sama mirip dengan konsep mukhabarah, tetapi tidak sepenuhnya sesuai karena terdapat ketidakjelasan dalam akad, seperti ketiadaan jangka waktu kerja sama dan persentase bagi hasil yang jelas. Dalam perspektif fikih muamalah, jenis kerja sama seperti ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali kesesuaian akad yang dilakukan dengan konsep mukhabarah agar kerja sama tersebut sesuai dengan syariat Islam.
CITATION STYLE
Nuraini Salsabila, & Yayat Rahmat Hidayat. (2023). Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Sistem Bagi Hasil pada Titip Lahan di Banjarwaru. Jurnal Riset Perbankan Syariah, 97–102. https://doi.org/10.29313/jrps.v2i2.2869
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.