UU Bagi hasil No 16 Tahun 1964 mengatur pembagian yang seimbang antara nelayan pemilik dan penerima. Perahu layar minimum 75 % dari hasil bersih, dan perahu motor minimum 40% dari hasil bersih untuk nelayan penggarap. Penetapan ini menjadi sebab, belum dapat optimalnya sistem bagi hasil yang memuaskan dan adil pada pelaku usaha perikanan. Nelayan pendega umum berpenghasilan lebih besar dari nelayan ABK. Pola ini juga menunjukkan tingkat kesejahteraan mereka dimana nelayan ABK lebih miskin dari nelayan pendega. Proporsi bagi hasil senantiasa tetap, dengan proporsi terbesar terletak menjadi milik juragan. Padahal makin lama tingkat kegunaan dari asset itu mulai berkurang. Implikasi turunya nilai asset (kapal, mesin, dan alat tangkap) akan mengurangi tingkat efektivitas dan optimalisasi asset tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang tetap, nelayan harus bekerja lebih keras (karena pengaruh penurunan asset). Kerja keras nelayan tersebut, menurut bagi hasil dihargai sama, baik secara teknis dan ekonomis nilai aset mulai berubah. Hasil lapang menunjukkan nilai penyusutan (depresiasi) aset (alat, mesin dan kapal) dibebankan kepada biaya kotor, tidak ditanggung juragan atau pemilik kapal. Kata kunci: nelayan ABK, sistem bagi hasil tangkapan, nelayan pendega PERNYATAAN KUNCI Kemiskinan nelayan terutama kelompok nelayan ABK (kecil). Hasil pendapatan tidak sesuai dengan standar kebutuhan hidup minimum. Sistem usaha perikanan yang tidak berpihak pada nelayan kecil karena tidak adanya dukungan kebijakan. Perlu suatu kebijakan yang mampu memberikan perlindungan kepada nelayan kecil. Perlu upaya untuk merekonstruksi UU BH Perikanan No. 16 tahun 1964 hingga berpihak pada nelayan kecil. REKOMENDASI KEBIJAKAN Rekomendasi dari kajian ini setidaknya ada 2 hal yaitu : Rekonstruksi implementasi konsep bagi hasil seharusnya memperhatikan optimalisasi kontrak antara juragan dan ABK. 192 Rekonstruksi ulang UUBHP No 16 Tahun 1964 tentang bagian penerimaan nelayan penggarap (Pasal 3 ayat 1 bagian b) dimana penerimaan penggarap berubah setelah perjanjian pertama berakhir sesuai dengan beban investasi usaha, atau setiap 2 musim penangkapan (2 tahun). I. PENDAHULUAN UU Bagi hasil Nomor 16 Tahun 1964 adalah sarana untuk menciptakan keteraturan dan keserasian antara nelayan pada masa itu. Dalam kebijakan tersebut, masing-masing kelompok akan menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya (Lembar Negara No 97, 1964). Berdasarkan pasal 3, prosentasi pembagian di perikanan laut dibedakan berdasarkan peng-gunaan perahu layar atau kapal motor. Perahu layar: minimum 75 % dari hasil bersih, dan perahu motor minimum 40% dari hasil bersih untuk nelayan penggarap. Dalam sistem usaha perikanan tangkap, nelayan kecil (buruh, anak buah kapal) memiliki posisi tawar menawar yang lemah karena dihadapkan pada struktur pasar yang tidak kondusif bagi mereka. Desakan uang tunai dan kebutuhan ekonomi yang tinggi tiap hari, maka nelayan tidak bisa melakukan spekulasi untuk mendapatkan harga produk yang lebih tinggi atau lebih baik. Dalam situasi ini nelayan menerima harga yang ditawarkan pasar (price taker) dan menjalankan hidupnya dari hari ke hari dengan uang tunai yang didapatkan setiap hari (short life sub sistence strategy). Disisi lain, ditengah menurunya kondisi potensi sumberdaya perikanan laut di wilayah pantai utara (over fishing) juga berdampak menurunkan penerimaan nelayan. Rendahnya nilai komoditas perikanan tangkap dipasaran, berdampak pada rendahnya keuntungan yang diterima dari usaha perikanan laut yang dijalankan (Kusnadi, 2001). Kondisi ini makin memperburuk kehidupan nelayan karena makin mengecilnya porsi bagi hasil yang didapat dari usaha perikanan. Penetapan bagi hasil ini menjadi sebab rendahnya penerimaan nelayan kecil dari hasil tangkapan. Selain tidak mendapat tambahan penghasilan, nelayan kecil juga dihadapkan pada suatu mekanisme yang legal secara hukum, namun tidak menguntungkan. Kesannya UU No 16 berusaha memelihara kemiskinan nelayan dengan tidak memberikan ruang untuk memperbaiki kesejahteraan. Untuk itu suatu upaya merekonstruksi UU No 16 menjadi UU kesejahteraan nelayan menjadi hal yang penting dilakukan.
CITATION STYLE
Yonvitner, Y. (2015). REKONSTRUKSI UU SISTEM BAGI HASIL PERIKANAN PRO NELAYAN KECIL. RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN: Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian Dan Lingkungan, 1(3), 192. https://doi.org/10.20957/jkebijakan.v1i3.10297
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.