Abstrak: Sebagian besar Pekerja Migran Indonesia (PMI) menghadapi permasalahan dalam mengelola keuangan dan berperilaku konsumtif. Hal ini dapat terlihat dari tingginya persentase PMI untuk kembali memperpanjang kontrak kerja setelah purna tugas. Kemiskinan yang dialami oleh PMI saat di Indonesia membentuk karakter poor society. Poor society ditandai dengan kesulitan untuk beradaptasi kembali dengan daerah asal pasca kembali ke kampung halaman, pergeseran nilai budaya, muncul perilaku konsumtif dan keterbatasan kemampuan manajerial keuangan. PMI meyakini bahwa berwirausaha memerlukan kemampuan (skill) dalam berbisnis, pengetahuan budaya dan ekonomi, relasi sosial yang kuat, dan tentu saja biaya usaha (modal) yang tidak sedikit. Hal tersebut mendorong tim pengabdian kepada masyarakat untuk mengadakan pelatihan kewirausahaan bagi para PMI aktif agar termotivasi untuk merintis, menjalankan, dan mengembangkan sebuah bentuk usaha yang potensial, memiliki target market, dan resilien. Tahapan kegiatan ini meliputi: (1) Analisis kebutuhan; (2) Kerjasama dengan mitra; (3) Koordinasi dengan pemateri; (4) Pembuatan video best-practice dengan pemateri; (5) Persiapan dan pelaksanaan seminar dalam jaringan (sedaring); (6) Pendampingan penyusunan Business Model Canvas (BMC). Kegiatan ini diikuti oleh total 46 PMI, yang berasal dari Taiwan (50%), Hongkong (13%), Singapura (13%), Indonesia (9%), Malaysia (7%), Korea Selatan (4%), Brunai Darussalam (2%), dan Arab Saudi (2%). Untuk dapat merancang dan menganalisis model usaha, setiap peserta diberikan pelatihan dan pendampingan untuk menyusun BMC sesuai dengan jenis usaha yang diminati. BMC tersebut diharapkan dapat membantu PMI dalam memvisualisasi dan memahami model usaha yang akan dikembangkan nantinya. Abstract: Most of the Indonesian migrant workers (PMI) face problems in managing finances and behave consumptively. This can be seen from the high percentage for PMI to re-extend the work contract after retiring. Poverty that has been experienced for quite a long time by PMI forms the character of poor society. Poor society is marked by the difficulty of Indonesian migrant workers to adapt back to their hometown after returning to their hometowns, a shift in cultural values, consumptive behavior and limited financial managerial ability. Currently digital technology is only used by PMI for communication and activities that are not oriented towards productive things. PMI believes that entrepreneurship requires skills (skills) in doing business, cultural and economic knowledge, strong social relations, and of course, a lot of business costs (capital). This encourages the community service team to hold entrepreneurship training for active PMIs so that they are motivated to start, run and develop a business that is potential, has a target market, and is resilient. The stages of this activity include: (1) making observations; (2) Cooperating with partners; (3) Coordination with presenters; (4) Making best-practice videos with the speakers; (5) Conducting online seminars; (6) Assistance in the preparation of a Business Model Canvas (BMC). This activity was attended by a total of 46 PMIs, originating from Taiwan (50%), Hong Kong (13%), Singapore (13%), Indonesia (9%), Malaysia (7%), South Korea (4%), Brunei Darussalam (2%), and Saudi Arabia (2%). To be able to design and analyze business models, each participant is provided with training and assistance to compile a BMC according to the type of business that he is interested in. BMC is expected to help PMI in visualizing and understanding the business model that will be developed afterwards.
CITATION STYLE
Pratama, M. M. A., Herdiani, A., Sulaksitaningrum, R., Novitasari, Y., & Ichwanto, M. A. (2021). TECHNOPRENEURSHIP UNTUK MEMBEKALI KETERAMPILAN WIRAUSAHA PASCA BERAKHIRNYA KONTAK KERJA BAGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI ERA DISRUPSI DIGITAL. Jurnal Graha Pengabdian, 3(1), 12. https://doi.org/10.17977/um078v3i12021p12-28
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.