Batik is one of the heritages of the Indonesian nation and its existence has now become our identity. But over time, batik is only considered as formal clothing that is only used at certain times. The lack of use of batik in everyday life makes it increasingly forgotten and less attractive to the younger generation. The rise of the fast fashion industry which is considered more trendy makes batik no longer known as everyday wear. In fact, the fast fashion industry has more or less had an impact on natural damage due to the use of clothing raw materials that are less environmentally friendly. This development in the fashion sector also has an impact on the production of batik which is less environmentally friendly where the dyes and fabrics use materials that are less environmentally friendly. In 2013 the mangrove batik community emerged with the aim of bringing back environmentally friendly batik and at the same time helping the mangrove forest ecosystem. This mangrove batik uses mangrove waste such as stems, roots, and leaves which are processed in such a way that it can be used as a substitute for synthetic dyes that are not environmentally friendly. This mangrove batik tourism house project is expected to be a forum for the mangrove batik community to return to exist in the community. One way is to provide a place for workshops so that people can get to know mangrove batik and directly experience the practice of batik. Furthermore, this mangrove batik tourism house presents a recycling area to support providing improvements and enhancements to the quality of the surrounding environment. Keywords: batik; mangrove batik; fast fashion industry AbstrakBatik merupakan salah satu warisan Bangsa Indonesia dan keberadaannya kini telah menjadi identitas kita. Namun seiring berjalannya waktu, batik hanya dianggap sebagai pakaian resmi yang hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saaj. Minimnya penggunaan batik dalam kehidupan sehari-hari menjadikannya kian dilupakan dan kurang diminati oleh generasi muda. Maraknya industri fast fashion yang dianggap lebih trendi menjadikan batik tidak lagi dikenal sebagai pakaian sehari-hari. Padahal, industri fast fashion ini kurang lebih telah membawa dampak pada kerusakan alam akibat penggunaan bahan baku sandang yang kurang ramah lingkungan. Perkembangan di bidang fashion ini juga membawa pengaruh pada produksi batik yang kurang ramah lingkungan di mana bahan pewarna maupun kainnya menggunakan bahan yang kurang ramah lingkungan.Pada tahun 2013 muncul komunitas batik mangrove yang bertujuan menghadirkan kembali batik yang ramah lingkungan sekaligus dapat membantu ekosistem hutan mangrove. Batik mangrove ini menggunakan limbah mangrove seperti batang, akar, serta daunnya yang diproses sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan bahan pewarna pengganti pewarna sintetis yang tidak ramah lingkungan. Proyek rumah wisata batik mangrove ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi komunitas pembatik mengrove untuk kembali eksis di kalangan masyarakat. Salah satu caranya ialah dengan menyediakan tempat workshop agar masyarakat dapat mengenal kembali batik mangrove dan langsung merasakan praktik membatik. Lebih jauh dari itu, rumah wisata batik mangrove ini menghadirkan area daur ulang untuk mendukung memberikan perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan di sekitarnya.
CITATION STYLE
Adelia, K., & Choandi, M. (2022). RUMAH WISATA BATIK MANGROVE: KEMBALI KE AWAL (MEMPERKENALKAN BATIK MANGROVE SEBAGAI WARISAN BUDAYA). Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa), 3(2), 2141. https://doi.org/10.24912/stupa.v3i2.12781
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.