Dalam beberapa tahun terakhir dunia telah mengalami pasang naik produksi bahan bakar nabati, dari angka tahunan sebesar 9,2 juta ton pada tahun 2000 menjadi 95,4 juta ton pada tahun 2018. Kebijakan nasional tidak dibuat untuk menstabilkan sektor gula dan kelapa sawit, tetapi untuk mengembangkan industri BBN (Bahan Bakar Nabati) nasional. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menganalisis kebijakan pengembangan bahan bakar nabati antara Kolombia dan Indonesia terkait dengan sektor gula dan kelapa sawit. Metode yang digunakan analisis deskriptif dengan cara studi pustaka, pengumpulan data, dan menganalisis kebijakan pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia dan Kolombia. Pemerintah Kolombia memberikan mekanisme insentif untuk mempromosikan bahan bakar BBN, termasuk mandat untuk pencampuran bahan bakar nabati. Kebijakan harga ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya peluang penggunaan bahan baku alternatif. Sedangkan di Indonesia, mandatori kebijakan BBN dalam rangka mengurangi ketergantungan atas impor minyak solar guna menghemat devisa Negara. Di Kolombia, penerapan kebijakan bahan bakar nabati memungkinkan terciptanya pasar etanol dan biodiesel yang sebagian berasal dari substitusi produksi gula dengan produksi etanol, dan interaksi dinamis antara produksi minyak sawit dan biodiesel. Di Indonesia, belum optimalnya produksi biodiesel dibandingkan dengan kapasitas terpasangnya dikarenakan oleh faktor ekonomi politik dan harga. Rendahnya serapan biodiesel yang secara tidak langsung menjadi kendala keberlanjutan program bioenergi nasional.
CITATION STYLE
Paminto, A., Koestoer, R. H. S., Karuniasa, M., & Frimawaty, E. (2022). Komparasi Kebijakan Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia dan Kolombia: Dilema Antara Pasar, Kapasitas Produksi dan Daya Serap. Matra Pembaruan, 6(1), 43–55. https://doi.org/10.21787/mp.6.1.2022.43-55
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.