Wacana penundaan Pemilihan Umum Tahun 2024 yang mengemuka beberapa waktu lalu menimbulkan sikap penolakan dari berbagai lapisan baik akademisi, organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat pada umumnya. Penundaan pemilu akan menimbulkan persoalan konstitusional yaitu memperpanjang masa jabatan Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945. Dalam perjalanan sejarah konstitusi yang pernah berlaku sebelum perubahan UUD 1945 menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden cenderung lebih dominan dibandingkan dengan cabang kekuasaan lainnya, seperti lembaga legislatif dan yudisial. Bahkan dalam praktik ketatanegaraan, UUD 1945 tidak digunakan secara murni, misalnya keberlakuan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 diselewengkan dengan kebijakan demokrasi terpimpin. Demikian pula, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, UUD 1945 digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang cenderung sangat besar. Setelah perubahan UUD 1945 yang ditandai dengan kesadaran untuk membatasi kekuasaan Presiden secara konstitusional melalui pengaturan dalam UUD 1945. Kekuasaan yang konstitusional pada dasarnya kekuasaan yang diberikan langsung oleh konstitusi yang mengandung pembatasan kekuasaan dan jaminan perlindungan hak asasi warga negara/manusia. Dengan demikian, segala argumentasi tentang wacana perpanjangan masa jabatan Presiden bertentangan dengan ide konstitusionalisme dan negara yang berkedaulatan rakyat.
CITATION STYLE
Purnomo, C. E. (2022). Refleksi Kekuasaan Konstitusional Presiden Republik Indonesia. Journal Kompilasi Hukum, 7(1). https://doi.org/10.29303/jkh.v7i1.92
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.