Buku II Mahkamah Agung menentukan bahwa pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 132 Rv menyatakan bahwa ketidakberwenangan adalah hal yang harus dinyatakan oleh hakim secara ex offi cio. Sayangnya, kedua ketentuan ini tidak selalu diterapkan. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kedua kewajiban ini seyogianya dilaksanakan? Dalam tulisan ini, pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan kacamata normatif pada 2 tataran, yaitu azas dan implementasi. Azas yang menjadi batu uji adalah azas hakim bersifat pasif dan azas ius curia novit. Sehubungan dengan azas hakim bersifat pasif, yang menjadi sorotan adalah ruang lingkup kepasifan hakim perdata dalam pemeriksaan perkara dan kemungkinan terjadinya ultra petita, sedangkan untuk azas ius curia novit, yang menjadi sorotan adalah kemungkinan terlanggaranya adagium hakim tidak boleh menolak perkara. Analisis pada tataran implementasi dari kewajiban hakim dalam memeriksa kompetensinya dilakukan dengan membayangkan implementasinya dari sisi positif dan negatif. Jika kewajiban ini dilakukan, beban hakimlah yang menjadi masalah utama, namun jika tidak dilakukan, kemungkinan menjamurnya vexatious litigation dan ketiadaan upaya hukumlah yang terbayang. Kesimpulannya adalah, hakim perdata seyogianya melakukan penilaian terhadap kompetensinya terlebih dahulu ketika suatu permohonan diajukan kepadanya.
CITATION STYLE
Yuvens, D. A., & Hutabarat, R. (2019). Analisis Yuridis terhadap Kewajiban Hakim Perdata dalam Menilai Kompetensinya Secara Otonom. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 5(1), 133. https://doi.org/10.36913/jhaper.v5i1.92
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.