Desentralisasi memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk mengelolah sumber daya alam di wilayahnya sehingga juga membuka ruang liberalisasi sektor pertambangan. Sumber daya tambang tidak hanya menjadi magnet bagi perusahaan pertambangan, tetapi juga memicu munculnya pertambangan rakyat baik dilakukan oleh individu maupun kelompok-kelompok sosial penambang. Penelitian ini mengambil fokus penambangan emas serta konflik-konflik pertambangan yang muncul di wilayah masyarakat adat Moronene. Dengan menggunakan analisis interdisiplin (sejarah-antrologi), penelitian ini menunjukkan bahwa maraknya pertambangan di atas tanah ada suku Moronene mengakibatkan semakin terpinggirnya peran komunitas adat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka. Keadaan ini diperparah dengan munculnya kelompokkelompok sosial penambang serta masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan berskala nasional dan lokal. Akibat lebih jauh, terjadi saling klaim dan tumpang tindih pemilikan lahan antara perusahaan, kelompok-kelompok penambang rakyat dan masyarakat adat. Wilayah suku Moronene semakin rentan dengan konflik sosial. Sector pertambangan memperlihatkan sifatnya yang paradoksal. Di lain sisi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan mendorong pembangunan infrastukur, namun di sisi lain mengakibatkan munculnya masalah-masalah sosial baru dalam masyarakat Moronene.
CITATION STYLE
Ahmad, T. (2019). MASYARAKAT ADAT DAN KONFLIK-KONFLIK PERTAMBANGAN: KASUS PERTAMBANGAN EMAS DI MORONENE, BOMBANA, SULAWESI TENGGARA. Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial Dan Humaniora, 4(2), 255–270. https://doi.org/10.36869/pjhpish.v4i2.45
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.