KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA SUAP DALAM UNDANG-UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

  • Apturedi E
N/ACitations
Citations of this article
12Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan formulasi Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor, dampak hukumnya,  serta kebijakan formulasinya di masa mendatang. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,  pertama, penerapan hukum tindak pidana suap berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 Huruf a dan b UU Tipikor, didapati dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 11/Pid.B/TPK/2008/PN.JKT.PST atas nama terpidana Urip Tri Gunawan dan Putusan PN Surabaya Nomor : 268/ PID.B-TPK/2016/PN.Sby atas nama terpidana Ahmad Fauzi. Kedua terdakwa dalam dakwaannya masing-masing salah satunya  didakwa berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor, tetapi Urip Tri Gunawan dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 12 b UU Tipikor sedangkan Ahmad Fauzi dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor. Padahal, kedua norma tersebut berada dalam undang-undang yang sama, tetapi memiliki unsur-unsur tindak pidana yang serupa, dan masing-masing terdakwa merupakan pegawai negeri atau penyelenggara yang bertindak sebagai penerima suap, yang pada akhirnya berakibat kepada perbedaan penjatuhan sanksi pidana baik pidana penjara, pidana denda, dan subisidaritasnya. Kedua, dampak penegakan hukum tindak pidana suap berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor adalah didapatinya kendala dari faktor (substansi) hukum dan faktor penegak hukum khususnya hakim. Dari faktor hukum, terjadi ketidakpastin hukum dengan wujud pengulangan norma dalam hal kesamaan unsur-unsur tindak pidana pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Tipikor dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, tetapi masing-masing mengadung ancaman sanksi pidana yang berbeda. Dampaknya, senada apabila ditinjau dari faktor penegak hukum khususnya hakim, yaitu terjadi disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim karena kedua norma walaupun memiliki unsur-unsur tindak pidana yang serupa tetapi mengandung ancaman sanksi pidana yang berbeda. Ketiga, kebijakan formulasi tindak pidana suap di masa mendatang adalah judicial review ketentuan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 12 huruf a UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi karena pasal-pasal a quo yang mengandung unsur-unsur tindak pidana yang sama tetapi berbeda dalam ancaman sanksi pidana dapat berpotensi mendiskriminasikan dan merugikan hak konstitusinal serta keadilan bagi warga negara sehingga pasal-pasal a quo menjadi celah “tawar menawar” atau “jual beli” penerapan penjatuhan putusan pidana. Hal-hal demikian telah bertentangan dengan konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan oleh karenanya ketentuan Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor dapat dituntut untuk dihapuskan.

Cite

CITATION STYLE

APA

Apturedi, E. (2022). KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA SUAP DALAM UNDANG-UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Lex LATA, 2(3). https://doi.org/10.28946/lexl.v2i3.1020

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free