Tulisan ini mengatakan pernikahan beda agama merupakan fakta sosial yang tak terbantahkan di negeri Indonesia yang plural. Tapi fakta tersebut menjadi problem tersendiri bagi pelakunya karena status pernikahan mereka sering tidak dicatat atau tidak mendapat pengakuan dari negara. Di Indonesia pengakuan pernikahan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berfungsi mencatat perkawinan pasangan yang sama-sama beragama Islam. Sedangkan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS) berfungsi mencatatkan perkawinan kalangan yang bukan beragama Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha serta Khonghucu. Sementara agama yang di luar itu, dianggap tidak berhak mengesahkan lembaga perkawinan. Padahal, sebetulnya, sesuai dengan aturan tentang civil registration PBB, pencatatan merupakan kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak sipil warga atau citizen.Asumsi-asumsi tentang agama resmi dan yang tidak resmi sudah seharusnya ditinggalkan. Karena ternyata merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat bangsa yang majemuk dan bhinneka ini. Perlu dilakukan revisi terhadap sejumlah peraturan atau undang-undang, antara lain UU Perkawinan Tahun 1974, agar segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan tidak terjadi lagi. Di level praktik, perlu dilakukan penyuluhan kepada pegawai-pegawai KUA dan DKCS tentang kesadaran pentingnya pencatatan nikah beda agama sebagai hak-hak asasi manusia.
CITATION STYLE
Nurcholish, A. (2021). Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia. Jurnal Hak Asasi Manusia, 11(11), 165–220. https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.92
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.