PERKAWINAN ANAK: Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat Pamekasan

  • Supraptiningsih U
  • Hariyanto E
N/ACitations
Citations of this article
37Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Abstract. Child marriages as well as the prosession are happen due to the role of both ulama (the Islamic leaders) and the community leaders. This paper aimed at exploring the perception of ulama and the community leaders in line with the factors of child marriage as well as the minimum age of marriage. The descriptive qualitative were implemented in this study. Meanwhile, the data were gathered by conducting observation, interview, and documentation. The first finding of the study is in line with the factors of child marriages. The educational background of the parents and the children, economic factors, cultural factors, and the uncontrolled relationship among teens were regarded to influence the child marriage in Pamekasan. Second, the ulama and the community leader argued that the child marriage should be avoided because it determine the life of the spouse after marriage. It must be considered that marriage is a time to realize the happy family (sakinah). Therefore, maturation is important in attempt to mentally and economically prepare for the marriage. Also, the limitation of marriage is not merely about the minimum age, but also the preoparation and the in-depth understanding of the spouse. Third, there is no clear statement in Alquran regard to the minimum age of marriage. Alquran stated akil baligh as the requirement. Meanwhile, the marriage law stated that minimum age for man is 19 years old and 16 years old for woman. In child protection laws, the minimum age for both man and woman are 18 years old. Abstrak. Perkawinan Anak dapat terjadi karena peran serta dari para ulama atau tokoh masyarakat, begitu pula prosesi perkawinan dengan restu keduanya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui peranan ulama dan tokoh masyarakat Kabupaten Pamekasan dalam terwujudnya perkawinan anak serta pendapat tentang batasan usia perkawinan. Metode penelitian mengunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dan metode deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ada beberapa temuan dalam penelitian ini yaitu pertama Perkawinan anak masih saja terjadi diwilayah Kabupaten Pamekasan, hal ini dilatar belakangi beberapa faktor, yaitu faktor rendahnya pendidikan baik dari orang tua maupun anak, tidak adanya aktifitas atau kegiatan karena selepas dari pesantren atau MA mereka menganggur, faktor ekonomi, faktor budaya atau tradisi, dan faktor pergaulan bebas; kedua Para ulama dan tokoh masyarakat berpendapat bahwa perkawinan anak harus dihindarikarena berdampak pada kelangsungan rumah tangga yang tentunya pasca perkawinan adalah waktu yang panjang untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah. Pendewasaan perkawinan penting karena untuk mempersiapkan mental dan ekonomi dalam sebuah perkawinan. Batasan perkawinan tidak hanya sekedar usia namun persiapan dan pemahaman hak dan kewajiban bagi pasangan yang harus matang. Ketiga Batasan usia pernikahan dalam Al Qur’an dan hadis tidak secara jelas disebutkan hanya menjelaskan akil baliq, sedangkan dalam Undang- Undang Perkawinan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Dalam UU Perlindungan ana laki-laki dan perempuan sama yaitu 18 tahun ke atas.

Cite

CITATION STYLE

APA

Supraptiningsih, U., & Hariyanto, E. (2019). PERKAWINAN ANAK: Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat Pamekasan. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 15(2), 96–105. https://doi.org/10.15408/harkat.v15i2.13466

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free