Polemik penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia menjadi permasalahan serius. Banyaknya jalur penyelesaian sengketa pertanahan mengakibatkan kerap terjadinya putusan yang tumpang tindih, lamanya proses pengadilan yang tidak mengedepankan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa, serta hakim yang masih belum optimal dalam penyelesaian sengketa pertanahan karena hanya mendasarkan pada kebenaran formil daripada kebenaran materiil dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Artikel ini mencoba untuk mengkaji pengadilan agraria sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan yang lebih optimal. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, kasus, dan perbandingan negara di Australia khususnya di Queensland dan New South Wales serta negara Skotlandia, artikel ini akan menawarkan gagasan pembentukan pengadilan agraria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan agraria di Queensland, New South Wales, dan Skotlandia mampu menjadi media penyelesaian sengketa pertanahan yang optimal. Gagasan pengadilan agraria sejatinya telah tertuang dalam Pasal 60, 61, dan 82 RUU Pertanahan dengan menempatkan pengadilan agraria di bawah pengadilan umum dan menggunakan hukum acara perdata. Melihat hal tersebut, perlu adanya upaya untuk merekonseptualisasi pengadilan agraria dengan menempatkan pengadilan agraria di bawah Mahkamah Agung, melakukan revisi RUU Pertanahan, dan membentuk Hukum Acara Pertanahan. Selain itu, perlu adanya penguatan mekanisme rekrutmen hakim khususnya pada hakim pengadilan agraria.
CITATION STYLE
Rachim, K. V., Taniady, V., & Saputra, R. D. (2022). Rekonseptualisasi Pembentukan Pengadilan Agraria di Indonesia: Upaya Perlindungan Hak Warga Negara Atas Tanah. Jurnal Studia Legalia, 3(02), 44–63. https://doi.org/10.61084/jsl.v3i02.30
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.