Suatu sengketa hak atas tanah timbul karena adanya pengaduan atau keberatan dari orang/badan hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu. Sengketa hak atas tanah meliputi beberapa macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak,bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadidasar pemberian hak dan sebagainya. Kepastian hukum hak atas tanah dapat diperoleh oleh pemegang hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sejak Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber data sekunder, data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan serta beberapa literatur yang digunakan untuk mendapatkan data hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian bahwa di Indonesia menganut sistem publikasi pendaftaran tanah yaitu sistem publikasi negatif, dalam hal ini sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain atau pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
CITATION STYLE
YUNIATI, A. (2017). KEKUATAN SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH. Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 12–23. https://doi.org/10.24967/jcs.v2i1.64
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.