Penangkapan pucuk pimpinan sejumlah lembaga tinggi negara seperti Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua DPR, Ketua DPD, ketua BPK, juga beberapa ketua partai politik, puluhan hakim dan aparat pengadilan (non-hakim), ratusan anggota DPR dan kepala daerah, puluhan menteri dan pejabat eksekutif di bawah menteri, ratusan anggota DPRD kota/kabupaten, juga ratusan orang dari pihak swasta selama periode 2004-2018 menegaskan situasi darurat korupsi di Indonesia pasca-reformasi. Menguatnya kelembagaan KPK, membaiknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia selama 20 tahun terakhir ini (Transparency International, 2018), berkembangnya inisiatif masyarakat sipil seperti Gerakan “Saya Perempuan Anti Korupsi” (SPAK) untuk mencegah korupsi (Gabrillin, 2019), serta meningkatnya kesadaran anti-korupsi di tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi (ACCH, 2011; Bernie, 2019; Zain, 2019), ternyata tidak serta-merta mendorong terbentuknya ‘perilaku anti-korupsi’ yang konsisten dari para pejabat publik negeri ini. Pertanyaannya, mengapa korupsi masih saja terus terjadi juga meskipun KPK sudah melakukan tindak pencegahan dan pemberantasan korupsi secara terstruktur, sistematis dan massif sejak berdirinya?
CITATION STYLE
Putranto, H. (2020). GREGET BARU DESAIN PEMAHAMAN KORUPSI. Jurnal Kawistara, 9(3), 349. https://doi.org/10.22146/kawistara.45913
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.