Abstrak:Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan yang merupakan sumber etika, moral, dan hukum. Saat ini, nilai ketuhanan tersebut dihadapkan pada realita kemajemukan bangsa Indonesia yang telah membawa implikasi sosial berupa tidak adanya sekat antar individu dalam menjalin interaksi antar sesama, termasuk upaya membangun hubungan keluarga dalam sebuah ikatan perkawinan. Berdasarkan realitas tersebut, para pihak yang melangsungkan perkawinan tidak lagi memandang latar belakang suku, budaya, dan bahkan agama. Padahal, secara konseptual, perkawinan tidak hanya mencakup aspek privat dan hukum saja, namun juga mencakup aspek agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, negara telah menyerahkan sepenuhnya kewenangan terkait penentuan keabsahan perkawinan kepada hukum agama, yang secara implisit tidak menghendaki terjadinya perkawinan beda agama. Namun, di sisi lain ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberikan pintu masuk bagi dilaksanakannya perkawinan beda agama. Meskipun Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No 2 Tahun 2023 sebagai petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkawinan beda agama, namun hal tersebut tidak efektif dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pandangan Pancasila dan UUD NRI 1945 terhadap fenomena perkawinan beda agama di Indonesia serta memberikan penegasan terhadap bagaimana sebenarnya status perkawinan tersebut secara hukum. Tulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual. Tulisan ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Pancasila dan UUD NRI 1945 tidak mengakui adanya perkawinan beda agama karena bertentangan dengan nilai ketuhanan. Oleh karena itu pengadilan seharusnya tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Untuk mengatasi konflik hukum terkait perkawinan beda agama, perlu dilakukan pencabutan terhadap ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan.Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Pancasila, Undang-Undang Dasar. Abstract:As a country based on Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the implementation of national and state life cannot be separated from divine values which are the source of ethics, morals and law. Currently, these divine values are faced with the reality of the pluralism of the Indonesian nation which has social implications in the form of the absence of barriers between individuals in establishing interactions between each other, including in this case, building family relationships within the bonds of marriage. Based on this reality, the parties entering into a marriage no longer look at their ethnic, cultural or even religious background. In fact, a marriage conceptually does not only include private and legal aspects, but also includes religious aspects. Based on the provisions of Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage, the state has fully transferred authority regarding the validity of marriage to religious law, which simplicity does not require interfaith marriages to occur. However, on the other hand, the provisions of Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 on Population Administration provide an entry point for the implementation of interfaith marriages. Even though the Supreme Court has issued SEMA No. 2 of 2023 as a guide for judges in adjudicating interfaith marriages, this is not effective in providing legal certainty to the public.. This article aims to analyze the views of Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding the phenomenon of interfaith marriages and provide confirmation of the actual legal status of these marriages. This paper is normative juridical research using statutory and conceptual approaches. This article produces a conclusion that Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia do not recognize interfaith marriages because they conflict with divine values. Therefore, the court should not grant the request for registration of interfaith marriages. To resolve legal conflicts related to interfaith marriages, it is necessary to revoke the provisions of Article 35 letter a of the Population Administration Law.Keywords: Interfaith Marriage; Pancasila; Constitution.
CITATION STYLE
Vargholy, M. N. (2023). Diskursus Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Pancasila dan Konstitusi: Konflik Antara Nilai dan Realitas. Jurnal Kajian Konstitusi, 3(2), 118. https://doi.org/10.19184/j.kk.v3i2.44167
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.