Konflik antar agama dan intra agama baik dalam skala kecil maupun skala besar rupanya menunjukkan potensi yang terus meningkat, bahkan kecenderungan yang terjadi diikuti dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik bukan hanya menyangkut persoalan tempat ibadah namun juga konflik sektarian baik di tingkat internal agama itu sendiri maupun antar agama. Dalam tulisan ini, tidak dibahas secara detail tentang apa saja penyebab konflik antar maupun intra agama tersebut, namun ingin melihat dan membandingkan bagaimana peran negara khususnya polisi sebagai aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik intra agama yang terjadi. Studi kasus yang menjadi pijakan analisa adalah konflik yang terjadi di Manis Lor, Jawa Barat dan Cikeusik, Banten. Keduanya adalah konflik anti-Ahmadiyah.Terdapat dua hasil yang berbeda dari tindakan polisi di kedua konflik tersebut. Konflik di Manis Lor, Jawa Barat dapat dicegah dengan baik oleh polisi sehingga tidak terjadi eskalasi konflik yang mengarah pada kekerasan massa. Bertolak belakang dengan yang terjadi di Cikeusik, meskipun polisi sudah berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan, namun eskalasi konflik tetap tidak terbendung dan kekerasan yang membawa korban jiwa terjadi. Belajar pada kedua kasus tersebut, peran polisi dalam upaya penangkalan atau pencegahan (deterrences) menjadi sangat penting, selain penggunaan kekuatan dan waktu pengerahan aparat kepolisian. Dibutuhkan perhitungan dan strategi yang tepat serta keseriusan pimpinan dalam memberikan komando. Di sini peran pemolisian menjadi sangat penting, mengingat keberhasilan pemolisian konflik beragama salah satunya adalah keberhasilan dalam upaya preemtif dan preventif.
CITATION STYLE
Fauzi, I. A., Rafsadi, I., & Mulyartono, S. (2021). Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten). Jurnal Hak Asasi Manusia, 11(11), 139–163. https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.91
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.