INTISARI Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua (Studi Kasus pada Suku Dani Kabupaten Jayawijaya)

  • Payasan L
  • Warou N
  • Seran S
N/ACitations
Citations of this article
9Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Latar Belakang: semakin maraknya tuntutan pasien kepada tenaga kesehatan maupun institusi pelayanan kesehatan dewasa ini dapat berdampak kepada penurunan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan, untuk itu diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa kesehatan yang cepat dan memungkinkan terselesaianya sengketa dengan biaya yang murah di Provinsi Papua karena Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kewenangan tersendiri dalam sistem peradilan Nasional yakni dengan adanya peradilan adat, hal ini terbukti dari adanya peradilan adat tersebut dalam Pasal 50 dan 51 Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan di implementasikan dengan Peraturasn Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat. Tujuan penelitian untuk identifikasi penyelesaian sengketa kesehatan melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua khususnya di Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya. Metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil Penelitian tidak pernah terjadi sengketa kesehatan di Kabupaten Jayawijaya dan memungkinkan terjadinya penyelesaian sengketa kesehatan melalui peradilan adat di Suku Dani Kabupaten Jayawijaya. I. Pendahuluan Pluralisme hukum meliputi pula isu peradilan, dimana salah satunya adalah eksistensi peradilan adat yang telah berkembang di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan di tahun 1945. Konstitusi Indonesia memang secara tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 19451 . Sekalipun demikian, faktanya bisa berbeda ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang diselesaikan pada mekanisme khusus di tingkat lokal, seperti peradilan adat. Secara yuridis, ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional bagi arah politik hukum pengakuan hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat. Peradilan adat dewasa ini menjadi perhatian karena secara Internasional di akui eksistensinya, hal tersebut terbukti pada Pasal 15 ayat (2) Internasional Convenant on civil and political right (ICCPR) menyebutkan bahwa " Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations " . Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang " The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders " dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat " obsolete and unjust " (telah usang dan tidak adil) serta " outmoded and unreal " (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada " diskrepansi " dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan. Disamping diakui secara Nasional dan Internasional, hukum adat telah tumbuh jauh sebelum disahkannya Konstitusi Republik Indonesia sehingga tidak ada alasan hukum adat melalui peradilan adat tidak diakui keberadaannya. Terbatasnya pengakuan negara atas eksistensi dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia membuat aliansi ini mengeluarkan pernyataanya yang sangat krusial pada tahun 1999 yaitu " Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak Mengakui Negara " (Herlambang, dkk, 2013). Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kewenangan tersendiri dalam peradilan adat, hal ini terbukti dari adanya pernyataan tegas tentang peradilan adat pada Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menyebutkan: " Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc; Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi " .

Cite

CITATION STYLE

APA

Payasan, L. G., Warou, N. H., & Seran, S. (2016). INTISARI Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua (Studi Kasus pada Suku Dani Kabupaten Jayawijaya). Gema Kesehatan, 8(2), 17–26.

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free