Dalam perspektif pemenuhan hak minoritas, pemberian otonomi khusus dan penghormatan pada keragaman budaya sebenarnya disadari sebagai pemikiran alternatif dalam konteks politik rekognisi yang dalam praktiknya telah melahirkan deklarasi hak minoritas. Dalam konteks Aceh, perjuangan untuk pemenuhan hak minoritas melalui otonomi khusus sebenarnya terjadi sejak Perang Sabil menentang Belanda hingga era Orde Baru. Perjuangan tersebut barulah terwujud pasca tsunami 2004 dan perjanjian Helsinski 2005. Persoalannya, ketika Qanun No.8 Tahun 2012 dan No.3 Tahun 2013 mengenai Wali Nanggroe dan bendera Aceh dilaksanakan, beberapa suku dan kelompok di dalam Aceh itu sendiri tidak merasa terwakili. Artinya, berbicara tentang Aceh sebagai kelompok minoritas, di dalam internal Aceh itu sendiri tidaklah tunggal karena ada kelompok-kelompok atau suku-suku yang merasa mereka minoritas di dalam minoritas. Tantangan setelah hampir sepuluh tahun perjanjian Helsinski adalah kemampuan para petinggi Aceh untuk mengelola pluralisme internal dan memperhatikan hak minoritas di dalam Aceh itu sendiri sebagai bagian penghormatan atas hak asasi manusia.
CITATION STYLE
Nurkhoiron, M. (2021). Minoritas Versus Minoritas: Masalah Minoritas Dalam Perspektif HAM. Jurnal Hak Asasi Manusia, 10(10), 83–108. https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.83
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.